Nasionaldetik.com , DIY -Kata darurat seringkali dipahami sebagai sesuatu hal yang mendesak harus diatasi. Namun dalam beberapa kasus, kata darurat masih dianggap sebelah mata karena bahaya yang dimaksud tidak terlihat secara fisik.
Indonesia darurat khilafah wahabi terorisme, KKN dan intolerasi dianggap sesuatu ilusi. Selain tidak terlihat secara fisik karena berujud paham asing, juga karena para pelaku tidak secara terang-terangan melakukan aksinya.
“Indonesia darurat khilafah wahabi intoleransi terorisme dan KKN bukan sekedar omong kosong. HTI reborn, intoleransi diberbagai tempat hingga penangkapan terduga teroris menjadi bukti kita belum bisa menuntaskan persoalan hingga ke akarnya. Masalah wahabi khilafah kelompok anti Pancasila sudah berpuluh tahun ada di sekitar kita, namun hingga hari ini masih ada. Inilah salah satu alasan bagi PNIB untuk menyatakan kita dalam situasi darurat” ungkap Gus Wal selaku ketua umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB)
Berbeda dengan situasi darurat lainnya, PNIB menyoroti masalah narkoba, miras yang sudah ditetapkan status darurat. Menurut Gus Wal pada faktanya darurat narkoba dan miras hanya sebuah slogan saja.
“Darurat miras menjadi ilusi saat yang ditangkap sebatas penggunanya, sementara pabrik dan industri miras aman tak tersentuh. Begitu pula dengan narkoba, hanya menyasar pengguna dan pengedar. Namun mengusut produsen narkoba butuh waktu lama meskipun info dari pengedar sudah jelas” imbuh Gus Wal.
Selain pengungkapan industri yang terkesan banyak tarik ulur kepentingan oknum, PNIB juga menanggapi perda miras di daerah yang terjadi kontradiksi.
“Perda miras direvisi namun isinya bukan memberantas tetapi mengatur peredaran. Ini yang membuat kita prihatin. Di Yogyakarta contohnya, Perda Miras justru melarang produk miras tradisional yang sudah turun menurun, namun miras impor berbayar dan bermerek justru diberi ruang beredar, atau istilahnya dilindungi dari persaingan dengan miras produk tradisional lokal” kata Gus Wal
Menjadi perhatian semua pihak bahwa persoalan darurat miras dan narkoba hanya menjadi ilusi penegakan hukum. Ada hal yang lebih darurat daripada itu namun belum diprioritaskan.
“Darurat Miras itu seperti halnya sebuah ilusi selagi pabriknya masih kokoh berdiri. Yang lebih urgent untuk segera diselesaikan oleh negara, pemerintah dan aparat penegak hukum adalah Darurat Wahabi Khilafah, Darurat Intoleransi , Darurat Radikalisme Terorisme, Darurat Korupsi Kolusi Nepotisme. Semua itu mengancam masa sekarang dan masa depan bangsa. Kita tidak bisa hanya berdiam diri menunggu kelompok Khilafah Wahabi memproduksi kader teroris baru, lalu baru kita tindak. Kita butuh deteksi dini pada gerakan mereka yang sekiranya sudah melenceng dari Pancasila UUD 45 dan semangat persatuan Bhinekka Tunggal Ika” pungkas Gus Wal
——–
Nasionaldetik.com , Jombang – Kata darurat seringkali dipahami sebagai sesuatu hal yang mendesak harus diatasi. Namun dalam beberapa kasus, kata darurat masih dianggap sebelah mata karena bahaya yang dimaksud tidak terlihat secara fisik.
Indonesia darurat khilafah wahabi terorisme, KKN dan intolerasi dianggap sesuatu ilusi. Selain tidak terlihat secara fisik karena berujud paham asing, juga karena para pelaku tidak secara terang-terangan melakukan aksinya.
“Indonesia darurat khilafah wahabi intoleransi terorisme dan KKN bukan sekedar omong kosong. HTI reborn, intoleransi diberbagai tempat hingga penangkapan terduga teroris menjadi bukti kita belum bisa menuntaskan persoalan hingga ke akarnya. Masalah wahabi khilafah kelompok anti Pancasila sudah berpuluh tahun ada di sekitar kita, namun hingga hari ini masih ada. Inilah salah satu alasan bagi PNIB untuk menyatakan kita dalam situasi darurat” ungkap Gus Wal selaku ketua umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB)
Berbeda dengan situasi darurat lainnya, PNIB menyoroti masalah narkoba, miras yang sudah ditetapkan status darurat. Menurut Gus Wal pada faktanya darurat narkoba dan miras hanya sebuah slogan saja.
“Darurat miras menjadi ilusi saat yang ditangkap sebatas penggunanya, sementara pabrik dan industri miras aman tak tersentuh. Begitu pula dengan narkoba, hanya menyasar pengguna dan pengedar. Namun mengusut produsen narkoba butuh waktu lama meskipun info dari pengedar sudah jelas” imbuh Gus Wal.
Selain pengungkapan industri yang terkesan banyak tarik ulur kepentingan oknum, PNIB juga menanggapi perda miras di daerah yang terjadi kontradiksi.
“Perda miras direvisi namun isinya bukan memberantas tetapi mengatur peredaran. Ini yang membuat kita prihatin. Di Yogyakarta contohnya, Perda Miras justru melarang produk miras tradisional yang sudah turun menurun, namun miras impor berbayar dan bermerek justru diberi ruang beredar, atau istilahnya dilindungi dari persaingan dengan miras produk tradisional lokal” kata Gus Wal
Menjadi perhatian semua pihak bahwa persoalan darurat miras dan narkoba hanya menjadi ilusi penegakan hukum. Ada hal yang lebih darurat daripada itu namun belum diprioritaskan.
“Darurat Miras itu seperti halnya sebuah ilusi selagi pabriknya masih kokoh berdiri. Yang lebih urgent untuk segera diselesaikan oleh negara, pemerintah dan aparat penegak hukum adalah Darurat Wahabi Khilafah, Darurat Intoleransi , Darurat Radikalisme Terorisme, Darurat Korupsi Kolusi Nepotisme. Semua itu mengancam masa sekarang dan masa depan bangsa. Kita tidak bisa hanya berdiam diri menunggu kelompok Khilafah Wahabi memproduksi kader teroris baru, lalu baru kita tindak. Kita butuh deteksi dini pada gerakan mereka yang sekiranya sudah melenceng dari Pancasila UUD 45 dan semangat persatuan Bhinekka Tunggal Ika” pungkas Gus Wal
Penulis : Tim PNIB
Pimred : Edi uban