JAKARTA | Kamis 20 September Rencana Undang-Undang TNI disahkan Paripuna DPR menjadi Undang-Undang. Pernyataan anggota Komisi I DPR-RI, TB Hasanudin patut didukung, ia meminta Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk meneken surat perintah penarikan seluruh prajurit TNI dari jabatan sipil usai RUU TNI sah menjadi Undang-Undang.
Mengapa?. Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang baru disahkan menyebut diktum tentang hal tersebut. Sepertinya Hasanudin memberi peringatan pengambil keputusan terkait TNI, “yang konsisten hanyalah inkonsistensi”. Sebab, di mata masyarakat realita dalam praktek UU Nomor 34/2004 menunjukkan hal tersebut. Banyak prajurit TNI di institusi sipil tidak diwajibkan pensiun dini atau mundur.
Memang pasca diundangkannya UU No 34/2004, ada beberapa lembaga negara baru yang belum ada di dalam UU No. 34/2004 seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Jaksa Agung Muda Bidang Militer Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung (kamar militer).
Dapat dipahami, bahwa penempatan prajurit TNI pada lembaga tersebut belum ada undang-undang yang mengaturnya. Itu karenanya menurut Naskah Akademik yang digunakan untuk mengajukan RUU TNI Perubahan ini menyebut, perlunya peraturan yang mengatur penempatan prajurit TNI di lembaga negara tersebut. Dapatkah hal tersebut dibenarkan?
Secara normatif tentu tidak bisa, karena tidak ada dasar hukumnya. Tetapi realita keberadaan mereka dibutuhkan pada lembaga-lembaga negara yang disebut diatas. Penulis adalah mantan Koordinator Pelaksana Lapangan Penanganan Penanggulangan Tsunami di Aceh pada akhir tahun 2005.
Pasca diundangkannya UU No. 34/2004, terjadi tsunami di Aceh. Faktanya, walau Pemerintah telah menunjuk Menko Kesra sebagai Ketua Bakornas Aju PBP di Banda Aceh, koordinasi tidak dapat berjalan dan masyarakat frustrasi. Rapat koordinasi di Pendopo Provinsi Aceh hanya berisi saling cela. Kebetulan penulis, berada di Banda Aceh sejak tanggal 29 Desember 2004 atas perintah Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto.
Pada 2 Januari 2005 pagi pukul 07.00, rombongan wartawan ibukota berjumlah sekitar 30 orang dipimpin Hersubeno Arief datang kebandara tempat saya bermalam. Hersubeno meminta paksa saya untuk memimpinan penanggulangan bencana, menurutnya tidak ada yang mampu.
Saya menjawab “Her, tolong minta surat perintah dari pak Alwi sebagai pejabat yang berwenang, karena saya tidak mau mengambil kewenangan beliau dan saya ngga punya DNA untuk kudeta”.
Mereka menghadap Menko Kesra dan keluarlah Surat Perintah No. 01/2005 tanggal 2 Januari 2005. Sejak itu penanggulangan tsunami terkoordinasi dan sukses. Hal yang sama juga terjadi saat penanggulanag bencana gempa bumi di Jogya pada tahun 2006, tiba-tiba saya mendapat perintah langsung dari Presiden SBY di depan Panglima TNI Marsekal TNI Joko Suyanto untuk mengkoordinasikan penanganan tahap tanggap darurat.
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa keberadaan Prajurit TNI pada lembaga-lembaga yang menangani hal-hal terkait kedaruratan sangat penting dan sesuai dengan kompetensiya. Tidak ada misi untuk melaksanakan Dwi Fungsi, seperti isu yang dibesarkan. Posisi yang sama juga terjadi dan perlu di BNPB, BNPT, BNPP, Bakamla, Badan Siber dan Sandi Nasional.
Kalau hal diatas terkait dengan pasal 47, poin krusial lain dari UU TNI yang di permasalahkan masyarakat adalah Pasal 7 dan Pasal 53. Tetapi Pasal 53 tidak banyak mendapat sorotan walau krusial. Pasal 7, ayat (1) tugas OMP dan ayat (2) tugas-tugas OMSP. Yang menjadi sorotan utama adalah pasal 7 ayat (2) b, yakni OMSP, tugas-tugas TNI di luar perang yang juga dilakukan oleh militer dan tidak hanya di Indonesia. Tidak ada hubunganya dengan Dwi Fungsi.
Terkait supremasi sipil, apapun jenis tugas OMSP yang dilaksanakan oleh TNI, kunci utamanya pada Pasal 17 dan 18 UU No. 34/2004, yang secara garis besar hak pengerahan TNI untuk tugas apapun hanya oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Panglima hanya pengguna kekuatan TNI yang dikerahkan. Artinya TNI di bawah supremasi Presiden yang harus orang sipil. Menurut Gus Dur, supremasi sipil di Indonesia dimaknai, Presiden dan Wakil Presiden harus orang sipil; Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi 2 kali masa jabatan, dan: Prajurit TNI tidak boleh menjadi anggota DPR dan DPRD.
Mencermati Pasal 7 dan Pasal 47, isu Dwi Fungsi TNI hanya ilusi Koalisi Mayarakat Sipil serta sebagian masyarakat Indonesia. Hantu itu tidak ada tapi ditakuti. Bahwa proses di DPR dinilai tidak transparan, proses yang perlu dikritisi atau diprotes.
Mencuatnya isu apapun protes masyarakat, DPR tidak bergeming, Faktanya tidak demikian, sebab ada perubahan naskah Pasal 7 dan 47 yang semula dapat diinterpretasi sebagai bangkitnya Dwi Fungsi, seperti Pasal 47 ayat (2) frasa terakhir…… sesuai dengan kebijakan Presiden. Faktanya frasa ini dihapuskan.
Dengan demikian aksi penolakan sebagai akibat framing isu Dwi Fungsi ABRI oleh masyarakat tidak relevan lagi. Yang patut dipertanyakan, alasan apa Koalisi Masyarakat Sipil bersikeras mengatakan UU TNI yang baru berpotensi mengembalikan Dwi Fungsi?.
Beredar di masyarakat melalui medsos, bahwa induk-induk NGO Koalisi Masyarakat Sipil di luar negeri seperti HIVOS, INCLO, Amnesty Internasional dll menilai bahwa isu HAM dan Demokratisasi sudah kurang relevan pasca tahun 2010. Kalau benar, artinya Dwi Fungsi ABRI adalah isu untuk bertahan hidup organisasi Koalisi Masyarakat Sipil. Masyarakat sebaiknya lebih rasional terhadap isu Dwi Fungsi ABRI.
Penulis: Bambang Darmono, Pembina IDESSS