Jakarta – Saya agak kaget ketika melihat biaya pembuatan passport sebesar Rp. 650.000 ( versi elektronik/aplikasi) dari 350.000 (non elektronik). Kata salah satu pegawainya itu dulu mas! Sekarang sudah versi eletronik biayanya Rp. 650.000. Karena setahu saya biaya Rp.350.000 jadi saya ikuti saja aturan main yang ada disitus kementrian imigrasi dan pemasyarakatan, ucapnya pada Kamis (8/5/2025).
ASW mengatakan, “dirinya sudah daftar di kantor imigrasi Jakarta Selatan versi aplikasi, Saya tanyakan kenapa naik? Salah satu pegawainya hanya menjawab itu dulu (dulunya itu kapan ya?) Setelah saya telusuri baru 5 bulan.
Karena uang saya kurang maka saya harus balik lagi dan hanya diberikan waktu kurang lebih 2 jam, harus balik lagi gitu! Apa bedanya versi manual dan electronik? Kenapa lebih mahal eletronik? Diskriminasi ni! Bagaimana jika rumahnya jauh?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Asw mengungkapkan, “yang jadi pertanyaan mengapa tulisan angka non elektronik Rp.350.000 masih di cantumkan harusnya dihilangkan dong! Versi pembuatan passport non elektronik ditiadakan sejak desember 2024. Informasi yang dikeluarkan situs web resmi kementrian imigrasi dan pemasyarakatan rancu! Akhirnya munculah ribuan pertanyaan di kepala saya, salah satunya mengapa harus beda harganya? Lumayan jauh loh naiknya!
Sejarah awal elektronik sim ada untuk keterbukaan Moto dari kementrian imigrasi dan pemasyarakatan adalah melayani dengan tulus? Visinya adalah “Masyarakat Memperoleh Kepastian Hukum”, visi dan motonya belum sesuai dengan realita yang ada.
Moto “Melayani dengan Tulus” hanyalah slogan kosong jika pelayanan publik masih dibayangi oleh pungli, birokrasi berbelit, dan perlakuan tidak manusiawi di lembaga pemasyarakatan (mungkin ini berlaku sebelum penggunaan esim dan teknologi Biometrik ya). Tulus adalah soal integritas dan keadilan, bukan hanya senyum di meja pelayanan, cetusnya.
Lebih lanjut ASW menambahkan, “Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia memperoleh kepastian hukum jika data dari Komnas HAM dan ICJR menunjukkan tingginya angka kriminalisasi terhadap masyarakat sipil, inkonsistensi putusan pengadilan, serta tumpang tindih regulasi yang belum ditangani secara sistemik oleh pemerintah dan DPR?”
Pertanyaan saya ini menyoroti kontradiksi antara harapan terhadap kepastian hukum dan realitas implementasi hukum di lapangan. Belum lagi “hukum tumpul keatas dan tajam ke bawah”, kalimat ini masih relevan kok sampai sekarang, ungkapnya.
Definisi keadilan di republik ini masih sering dipelintir semenjak awal reformasi. Keadilan “hanya untuk si tuan polang”lebih jelasnya hanya di dapat bagi kaum the have, bagaimana dengan kaum papa (miskin). Simbol keadilan itu timbangan kan! Timbangannya lebih menukik ke kanan.
Diskrepansi Antara Motto dan Realitas
Banyak laporan dari masyarakat dan lembaga independen menunjukkan bahwa pelayanan di keimigrasian dulu Sebelum era e Sim masih sarat dengan biaya tidak resmi,pungli,percaloan dan lambatnya proses administrasi, serta kurangnya transparansi. Sejak desember 2024 kenaikan harga pelayanan hampir 100% Ini bertolak belakang dengan makna ketulusan, yang seharusnya bebas dari kepentingan pribadi dan dijalankan demi kebaikan masyarakat. Tulus dari mananya om ? Biayanya naik gitu kok, Oh jadi kalau biayanya tidak naik itu tidak tulus ya kerjanya om pejabat!
Tulus Harus Terlihat dari Akuntabilitas
Motto melayani dengan tulus dari keimigrasian RI tetap menjadi narasi kosmetik yang menipu publik. Ketulusan pelayanan hanya bisa diukur lewat tindakan konkret seperti reformasi birokrasi, transparansi layanan, dan akuntabilitas aparat. Tanpa pengawasan ketat dan penindakan tegas terhadap penyimpangan, moto tersebut akan tetap menjadi narasi kosmetik yang menipu publik, ulangnya.
Keterangannya Mulai 18 Desember 2024, pemerintah Indonesia resmi menaikkan biaya pembuatan paspor elektronik masa berlaku 10 tahun menjadi Rp 950.000. Angka ini melonjak tajam dari sebelumnya Rp 650.000 berdasarkan PP No. 28 Tahun 2019, melalui pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2024, sedalam apa ya kajian ini? Apa perlu di kaji ulang?, tanya ASW.
Peningkatan kualitas layanan, keandalan teknologi, dan masa berlaku lebih lama. Namun benarkah demikian? Apakah ini kebijakan publik yang adil? Atau sebuah kebijakan yang justru memindahkan beban biaya kepada rakyat demi kesejahtraan rakyat dan anti pungli? Rakyat yang mana? Buat saya ini jelas Falacy Of Cousesion, tegas ASW
Adil Versi Siapa?
Pertanyaan mendasarnya adil menurut siapa? Keadilan bagi masyarakat kelas atas yang bisa membayar percepatan Rp 1 juta dan paspor 10 tahun Rp 950 ribu, atau 1.350.000.
atau keadilan bagi mayoritas rakyat yang penghasilannya masih di bawah UMR dan hanya butuh dokumen untuk bekerja ke luar negeri atau ibadah?
Jika keadilan hanya diukur dari segi “yang mampu bayar, bisa lebih cepat dan lebih tahan lama,” maka logika layanan publik mulai digantikan oleh logika bisnis jasa, betul ngak?
Teknologi Lama, Harga Baru
Paspor elektronik diklaim menggunakan teknologi canggih seperti chip, biometrik, dan peningkatan bahan baku. Namun faktanya, teknologi biometrik sudah dikenal luas sejak 2013, dipopulerkan iPhone 5s, dan saat ini. Teknologi ini Lebih dari 1 dekade. teknologi ini bahkan ada di ponsel seharga Rp 1 jutaan. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pun teknologi biometrik sudah ada kok. Karena baru diterapkan di Indonesia lebih mahal gitu! Bisa aja ni cari cuannya ni! Terus aja
Lantas, benarkah biaya pengadaan chip dan teknologi ini bisa membenarkan lonjakan hampir dua kali lipat? Di mana laporan audit dan transparansi harga satuan dari pengadaan bahan dan sistem tersebut?
Siapa yang Bermain?
Ini bukan sekadar soal tarif. Ini tentang siapa yang menikmati margin dari kebijakan ini. Apakah vendor teknologi, percetakan, ataukah oknum imigrasi yang ditunjuk? Pastinya ini sudah bagi bagi hasil lah. Apakah sistem pengadaan dan penunjukan rekanan harus diaudit secara terbuka?
Jika kenaikan Rp 300 ribu terlihat kecil secara individual, cobalah kalikan dengan jutaan paspor yang diterbitkan tiap tahun. Maka akan terlihat potensi keuntungan besar dalam angka yang’kecil’. Dan semua itu diambil dari kantong rakyat, kok gini ya cara berfikirnya.
Negara sebagai Pelayan atau Pebisnis?
Kantor Imigrasi itu dibawah naungan kemenkumham. Negara memang berhak menarik biaya untuk layanan, tapi ketika tarif naik drastis, teknologi sudah tidak baru, dan keadilan layanan jadi eksklusif maka masyarakat mulai mempertanyakan peran negara sebagai pelayan rakyat atau penyedia jasa komersial?
Apakah fungsi negara telah bergeser, dari menjamin dokumen dasar hak mobilitas warganya, menjadi penjual layanan dokumen premium? Kantor imigrasi bukan BUMN loh.
Transparansi: Kunci yang Hilang
Sampai hari ini, belum ada paparan terbuka dari pemerintah soal rincian biaya, efisiensi sistem baru, hingga berapa persen masyarakat yang benar-benar diuntungkan oleh layanan baru ini. Siapa yang mereka pikirkan saat menetapkan tarif ini? Apakah mereka yang memiliki uang lebih? Bernegara dan urusan rakyat jangan gunakan mindset bisnis lah om!
Penutup: Pertanyakan, Jangan Telan Mentah Mentah
Kenaikan tarif paspor bukan hanya soal angka. Ini adalah representasi dari bagaimana negara melihat rakyatnya sebagai warga yang harus dilayani bukan sebagai konsumen yang bisa dikenakan tarif lebih tinggi karena dianggap “mampu.” Jika negara tidak transparan, maka publik wajib kritis. Karena ketika publik diam keadilan bisa berubah bentuk menjadi komoditas.
Mana suara publik, mahasiswa dan masyarakat kok diam ya. Apa harus diberikan cuan dulu baru bersuara, ditunggu suara rakyat akan hal ini, tutupnya.
Penulis: A.S.W