TANJUNG BALAI | Kuasa hukum Andre Yusnijar dan Ardiansyah Saragih alias Lombek dari kantor hukum Lingga & Rekan mengajukan eksepsi atas ketidaksesuaian barang bukti. Langkah ini memunculkan tanda tanya besar terhadap proses hukum dua terdakwa kasus narkotika tersebut.
Keberatan itu disampaikan dalam sidang lanjutan perkara Nomor 200/Pid.Sus/2025/PN Tjb di Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Rabu (13/8/2025). Kuasa hukum menggugat keabsahan barang bukti yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Barang bukti yang disebutkan dalam surat dakwaan Jaksa tidak sesuai dengan fakta yang disampaikan klien kami,” ujar Asra Maholi Lingga, kuasa hukum terdakwa, didampingi Suria Perdamean Lingga di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Erita Harefa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut kuasa hukum, masalah ini bukan sekadar persoalan angka. Terdapat selisih mencolok dalam berat narkotika jenis sabu yang disita polisi dengan yang didakwakan. Dalam dakwaan, jaksa menyebut barang bukti seberat 60 gram, sementara klien mereka bersikukuh berat sebenarnya 70 gram.
“Itulah sebabnya kami mengajukan eksepsi. Kemana perginya 10 gram sisanya? Ini bukan soal kelalaian hitung, tapi soal transparansi dan integritas dalam proses hukum,” tegas Asra.
Menanggapi keberatan itu, JPU Sitilisa Evriaty Br Tarigan menyatakan akan memberikan jawaban resmi dalam sidang lanjutan yang dijadwalkan Rabu (20/8/2025). Sidang pun ditunda oleh Ketua Majelis Hakim hingga pekan depan.
Persoalan barang bukti ini bukan muncul tiba-tiba. Dalam sidang sebelumnya pada 29 Juli 2025, kedua terdakwa membuat pengakuan mengejutkan. Andre Yusnijar menyebut barang bukti yang disita berjumlah tujuh bungkus, bukan enam seperti tertera dalam dakwaan. Artinya, satu bungkus sabu seberat 10 gram diduga menghilang dari proses penyitaan dan penyerahan barang bukti.
Lebih mencengangkan lagi, satu bungkus yang “hilang” itu diduga kuat digunakan untuk menjerat terdakwa lain, Rahmadi, yang kini menjalani proses hukum terpisah.
“Barang bukti kami itu ada 70 gram, bukan 60 gram,” tegas Andre di ruang sidang, memperkuat dugaan manipulasi atau bahkan penyalahgunaan barang bukti oleh aparat penegak hukum.
Jika dugaan ini benar, publik patut bertanya apakah praktik manipulasi barang bukti telah menjadi pola dalam penegakan hukum kasus narkotika di Tanjung Balai. Meski demikian, kuasa hukum Lombek Cs mengakui klien mereka tidak menampik perbuatan yang didakwakan.
Namun, mereka menekankan ketidaksesuaian barang bukti tetap harus dipersoalkan, bukan untuk membebaskan terdakwa, melainkan memastikan proses hukum berjalan sesuai prinsip keadilan.
“Ini bukan soal mengelak dari jeratan hukum. Ini soal mengoreksi prosedur yang rawan diselewengkan. Kalau barang bukti bisa berubah-ubah, siapa yang bisa menjamin tidak terjadi penyalahgunaan?” kata Suria Perdamean Lingga.
Pengungkapan ini menambah panjang daftar pertanyaan publik terhadap integritas aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus narkotika, barang bukti kerap menjadi satu-satunya alat bukti utama untuk menjerat seseorang.
Ketidakjelasan asal-usul dan berat barang bukti bukan hanya berbahaya, tapi juga berpotensi menjadi bentuk rekayasa hukum. Persidangan selanjutnya akan menjadi ujian bagi kejaksaan untuk membuktikan integritas dakwaan dan menjawab secara terang benderang apakah 10 gram yang hilang itu benar-benar hilang atau sengaja dialihkan untuk menambah daftar korban rekayasa hukum. (**)