Nasionaldetik.com,— 9 September 2025 Pernyataan pers yang dikeluarkan oleh Lembaga Advokasi Kesejahteraan Sosial Indonesia (LAKSI) pada tanggal 9 September 2025 mengenai penanganan kerusuhan di Jakarta menimbulkan banyak pertanyaan mendalam. Alih-alih memberikan gambaran yang objektif, rilis ini justru terlihat sebagai upaya defensif yang menyudutkan pihak-pihak kritis seperti Komnas HAM dan mengabaikan fakta-fakta penting. Dengan menggunakan pendekatan 5W+1H, mari kita bedah narasi yang disampaikan LAKSI.
Apa yang disampaikan oleh LAKSI? Inti dari siaran pers ini adalah pembelaan terhadap kinerja Polri dalam menangani kerusuhan massal. LAKSI mengecam Komnas HAM karena dianggap “membuat framing jahat” dan menuding polisi tidak profesional. Mereka juga menuntut agar semua pihak menghormati proses hukum dan tidak melakukan intervensi. Di sisi lain, LAKSI memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Asep Suheri, atas pendekatannya yang dianggap “humanis” dan “proporsional.”
Siapa yang menjadi subjek dan objek dalam pernyataan ini?
* LAKSI: Sebagai pihak yang mengeluarkan siaran pers, mereka berperan sebagai pembela utama Polri. LAKSI mencoba membentuk opini publik bahwa polisi telah bertindak dengan benar dan sesuai prosedur.
* Polri (Kapolri dan Kapolda Metro Jaya): Mereka adalah objek yang dibela. LAKSI berargumen bahwa polisi sudah sangat profesional dan berhasil mengendalikan situasi.
* Komnas HAM: Komnas HAM menjadi objek kritik. LAKSI menganggap pernyataan Komnas HAM yang mengkritik polisi sebagai “tendensius” dan “tidak berdasar.”
* Massa Aksi dan Korban: Mereka digambarkan secara generalis sebagai “perusuh” yang menyebabkan kerugian dan kerusakan. LAKSI mengabaikan perbedaan antara demonstran damai dan oknum perusuh, serta kurang menyoroti korban jiwa, termasuk pengemudi ojek daring, Affan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kapan pernyataan ini dibuat? Siaran pers ini dikeluarkan pada 9 September 2025, kurang lebih seminggu setelah kerusuhan terjadi. Waktu perilisan ini sangat strategis, yaitu ketika desakan publik dan sorotan dari Komnas HAM terhadap penanganan polisi masih sangat kuat. LAKSI mencoba meredam kritik yang sedang memanas dengan narasi tandingan.
Di mana kerusuhan itu terjadi dan di mana fokus narasi ini? Kerusuhan terjadi di berbagai wilayah di Jakarta, dengan kerusakan meluas dari rumah pejabat hingga fasilitas publik. Meskipun demikian, narasi LAKSI sangat fokus pada pembelaan terhadap Polri dan menyudutkan Komnas HAM, seolah-olah mengalihkan perhatian dari investigasi independen yang seharusnya dilakukan terhadap peristiwa di lapangan.
Mengapa LAKSI mengeluarkan pernyataan ini?
* Membela Kredibilitas Polisi: Alasan utama LAKSI adalah untuk membela kredibilitas Polri yang sedang dipertanyakan oleh Komnas HAM dan masyarakat luas. Mereka berupaya membangun kembali kepercayaan publik yang mungkin terkikis akibat insiden kekerasan selama aksi.
* Menciptakan Narasi Tandingan: LAKSI ingin menandingi narasi kritis dari Komnas HAM dan lembaga HAM lainnya. Mereka berusaha mengaburkan fakta-fakta dengan narasi tandingan yang memuji keberhasilan polisi dalam mengendalikan situasi, meskipun ada laporan mengenai korban dan kekerasan.
* Mengalihkan Isu: Pernyataan ini berupaya mengalihkan fokus dari dugaan pelanggaran HAM yang mungkin terjadi. Dengan hanya menyoroti kerugian yang dialami polisi dan menganggap kritik Komnas HAM “tidak berdasar,” LAKSI mencoba memvalidasi tindakan tegas polisi dan menghindari akuntabilitas.
2025
Bagaimana LAKSI menyampaikan pesannya?
* Bahasa yang Provokatif: LAKSI menggunakan frasa yang kuat dan provokatif seperti “framing jahat,” “menyesatkan publik,” dan “mengarang cerita.” Bahasa ini dirancang untuk mendiskreditkan lawan bicaranya, dalam hal ini Komnas HAM.
* Pujian Berlebihan: Mereka memberikan pujian yang tidak proporsional kepada Kapolda Metro Jaya, menyebutnya “sangat mengedepankan aspek kemanusiaan” dan “tetap sigap,” padahal fakta-fakta lapangan menunjukkan adanya kekerasan.
* Generalisasi: LAKSI menyamakan seluruh massa aksi sebagai “perusuh” dan “pelaku kejahatan,” sebuah generalisasi yang berbahaya karena mengabaikan hak-hak demonstran damai.
* Tidak Ada Bukti Konkret: LAKSI mengklaim bahwa polisi memiliki bukti kuat terhadap para pelaku dan bahwa tindakan mereka “sudah sesuai prosedur,” tetapi siaran pers ini tidak menyertakan bukti apa pun untuk mendukung klaim tersebut, membuat argumennya lemah.
Pada akhirnya, siaran pers LAKSI ini lebih berfungsi sebagai alat propaganda daripada analisis objektif. Dengan mengabaikan konteks sosial, meminggirkan kritik, dan memuji aparat secara berlebihan, mereka gagal memberikan gambaran yang utuh dan adil tentang peristiwa yang terjadi.