KUTACANE | Dugaan praktik terselubung yang mendorong siswa membeli buku di sekolah kembali terjadi. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada SD Swasta IT Darul Azhar di Kabupaten Aceh Tenggara, yang diketahui mengeluarkan surat edaran kepada para orang tua murid terkait pembelian buku paket senilai lebih dari satu juta rupiah. Dalam surat itu, pihak sekolah menyatakan bahwa buku paket dapat dibeli langsung di sekolah atau toko buku, sebuah frasa yang dinilai membingungkan dan berpotensi melanggar prinsip dasar pendidikan yang seharusnya bebas biaya.
Surat yang diteken oleh Kepala Satuan Pendidikan SD Swasta IT Darul Azhar, Arif Noprianda, S.Pd., menjadi bukti kuat dari adanya dugaan anjuran pembelian buku yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan dasar yang dijamin negara. Di dalam surat tersebut tercantum daftar lengkap buku paket, penulis, kurikulum, dan harga satuan hingga jumlah total yang menembus angka satu juta rupiah.
Pernyataan dalam surat itu, “Untuk itu, kami sampaikan bahwa buku paket dapat dibeli di sekolah atau toko buku,” menjadi sorotan utama yang memicu kontroversi. Kalimat tersebut memberi kesan bahwa pihak sekolah seolah mendorong pembelian buku secara langsung dari satuan pendidikan, yang jika tidak ditindak, dapat menjadi preseden buruk dalam sistem pendidikan di daerah.
Ketua DPD LSM Penjara Provinsi Aceh, Pajri Gegoh, menyebut surat edaran tersebut sebagai bentuk nyata dari potret buram pendidikan dasar yang masih membebani orang tua siswa dengan berbagai dalih administrasi. Ia menilai surat tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah daerah dalam memastikan implementasi wajib belajar tanpa pungutan biaya.
“Ini adalah bentuk penyimpangan yang terang benderang. Negara sudah menjamin pendidikan dasar tanpa biaya, termasuk di sekolah swasta yang menerima dana BOS. Tapi justru sekolah malah mengedarkan surat yang mengarahkan wali murid membeli buku,” ujar Gegoh dengan nada tajam.
Ia mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VIII/2010 yang mempertegas bahwa biaya pendidikan dasar harus ditanggung negara. Dalam konteks ini, SD Swasta yang menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetap wajib mengikuti prinsip pendidikan gratis. Hal ini juga ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 dan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk pengadaan buku dan sekolah tidak boleh menarik pungutan kepada siswa tanpa dasar hukum yang jelas.
“Sekolah tidak punya dasar regulasi untuk mengarahkan pembelian buku kepada siswa, apalagi sampai menyebut sekolah sebagai tempat pembelian. Kalau itu terjadi, ini sudah mengarah pada praktik jual beli terselubung yang dilarang keras oleh undang-undang,” tegasnya.
Menurutnya, jika pengadaan buku memang dibutuhkan, sekolah dapat menggunakan dana BOS dengan sistem pengadaan melalui SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah). Skema ini sudah diatur secara nasional dan transparan, guna menghindari praktik pungutan liar yang membebani masyarakat.
Pajri Gegoh menambahkan bahwa sejumlah wali murid telah menyampaikan keberatan secara langsung kepadanya. Mereka merasa dibebani oleh kebijakan yang tidak transparan dan mengarah pada pemaksaan halus meski secara tertulis tidak dinyatakan sebagai kewajiban.
“Kami meminta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tenggara memanggil kepala sekolah untuk meminta klarifikasi, sekaligus mengevaluasi kebijakan internal sekolah yang tidak berpihak pada hak siswa atas pendidikan bebas biaya,” katanya.
Merespons kritik tersebut, Kepala SD Swasta IT Darul Azhar, Arif Noprianda, saat dikonfirmasi pada Rabu, 23 Juli 2025, membenarkan bahwa surat edaran itu memang dikeluarkan. Ia berdalih bahwa niat sekolah adalah mempermudah akses pembelian buku bagi orang tua, termasuk dengan opsi pembayaran cicilan, dan menyatakan bahwa tidak ada unsur pemaksaan.
“Memang surat itu kami edarkan, namun itu hanya bentuk fasilitasi bagi wali murid. Karena ada keberatan dari beberapa orang tua, kami memutuskan untuk membatalkan edaran tersebut dan akan menggelar rapat bersama wali murid. Saat ini penjualan buku sudah kami hentikan,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Namun demikian, pembatalan surat edaran ini tidak lantas menghapus persoalan. Fakta bahwa surat tersebut sempat dikeluarkan dan menyebut secara eksplisit bahwa buku dapat dibeli di sekolah sudah cukup menjadi alarm keras bagi pengawas pendidikan di daerah.
Surat edaran ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap lembaga pendidikan swasta di Aceh Tenggara masih lemah. Praktik-praktik administratif yang menjurus pada pungutan terselubung seperti ini tidak hanya melukai rasa keadilan sosial, tetapi juga menodai komitmen negara terhadap pendidikan dasar yang merata dan bebas biaya.
LSM Penjara Aceh mendesak agar Kepala Sekolah tidak hanya diminta klarifikasi, tetapi juga diberi sanksi administratif sesuai dengan regulasi yang berlaku, agar menjadi efek jera bagi satuan pendidikan lainnya yang coba memainkan celah hukum demi keuntungan tertentu.
Pendidikan tidak boleh dijadikan ladang komersialisasi. Surat edaran seperti ini bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendidikan nasional. Jika dibiarkan, praktik seperti ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara tidak boleh diam. Saatnya bertindak tegas sebelum kepercayaan masyarakat benar-benar runtuh.
Laporan Salihan Beruh