Aceh Tenggara, 22 Juli 2025 — Skandal syahwat mencoreng nama baik pemerintahan desa di Aceh Tenggara. Dalam sebuah operasi gabungan yang digelar pada Sabtu malam, 19 Juli 2025, sebanyak sebelas wanita yang diduga kuat sebagai pekerja seks komersial (PSK) dan satu pria hidung belang diamankan dari tiga titik hiburan malam di wilayah tersebut. Ironisnya, sebagian pelanggan mereka disebut berasal dari kalangan oknum Pengulu Kute—kepala desa yang semestinya menjaga moralitas masyarakat.
Razia dilakukan di Lawe Rakat, Lawe Harum, dan kawasan Tower Kage di Kecamatan Deleng Pokhisen. Kegiatan ini melibatkan Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Aceh Tenggara, Polisi Militer Subdenpom IM/1-4 Kutacane, dan unsur Linmas. Petugas menyita alat musik soundsystem dari sejumlah kafe yang dijadikan tempat transaksi seks dan hiburan malam, lengkap dengan minuman keras ilegal jenis tuak.
Menurut Kepala Bidang Trantib Satpol PP-WH Aceh Tenggara, Misyadi Sunanda, para wanita tersebut diduga kuat menawarkan jasa seksual dengan tarif bervariasi: mulai dari Rp200.000, Rp300.000, hingga mencapai Rp500.000 untuk sekali kencan berstatus short time—berhubungan badan laiknya pasangan sah. Praktik ini berlangsung di kamar-kamar yang sudah disediakan di balik kafe dan warung malam, sebagian berkedok lapo tuak yang ramai dikunjungi lelaki hidung belang.
“Mereka umumnya janda muda, berdandan menarik untuk menarik pelanggan. Sayangnya, pelanggan mereka bukan hanya pria-pria biasa, tapi juga oknum Pengulu Kute yang datang dengan penampilan mewah,” ungkap Misyadi.
Keberadaan para PSK ini, lanjutnya, bukanlah fenomena baru. Mereka datang silih berganti dari luar daerah, antara lain Kota Semarang, Medan, Tanjungbalai, Lhokseumawe, dan sebagian lagi dari Aceh Tenggara sendiri. Mereka mengaku terpaksa menjual diri demi mencukupi kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anak mereka.
Meski motif ekonomi sering dijadikan alasan, praktik pelacuran tetaplah pelanggaran hukum. Di Provinsi Aceh, perilaku ini termasuk dalam jarimah—pelanggaran serius terhadap syariat Islam. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat secara tegas melarang perbuatan zina dan ikhtilat (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim). Pasal 25 ayat (1) dalam Qanun tersebut menyebutkan bahwa setiap pelaku zina dapat dikenai hukuman cambuk hingga 100 kali, atau hukuman lain seperti denda emas dan kurungan badan yang diputuskan Mahkamah Syariah.
Selain itu, praktik ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menegaskan bahwa penyediaan layanan seksual untuk umum dapat dikenakan sanksi pidana. Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 296 menyebutkan bahwa siapa pun yang secara sengaja memudahkan terjadinya perbuatan cabul antara orang lain dapat dihukum penjara hingga satu tahun empat bulan.
Namun, dalam kasus ini, publik tidak hanya geram terhadap para PSK yang ditangkap. Kekecewaan lebih besar tertuju pada aparat pemerintahan desa yang justru menjadi pelanggan tetap. Seorang petugas Wilayatul Hisbah yang terlibat dalam operasi mengungkapkan, beberapa kepala desa bahkan terlihat masuk ke lokasi hiburan malam mengenakan pakaian dinas. “Mereka bukan sekadar mampir, tapi sudah seperti pelanggan loyal. Bahkan beberapa memesan wanita yang sama berkali-kali,” kata petugas tersebut, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kepala Satpol PP dan WH Aceh Tenggara, Ramisin, melalui Plh Kabid WH dan Linmas, Lenny Mawarni, menegaskan bahwa kegiatan patroli gabungan ini akan terus digencarkan sebagai bentuk nyata penegakan hukum syariat Islam di daerah. Mereka tidak hanya menyasar PSK, tapi juga penyedia tempat hiburan malam ilegal dan warung lapo tuak yang melanggar hukum.
Namun publik mulai bertanya-tanya: mengapa praktik ini dibiarkan berlarut-larut? Apakah ada pembiaran dari pihak berwenang? Atau lebih jauh, ada keterlibatan aparat dalam pembagian keuntungan bisnis syahwat ini?
Seorang warga Lawe Sigala-gala mengaku bahwa keberadaan para wanita malam itu bukan rahasia. “Kalau malam, mobil-mobil bagus parkir di dekat kafe. Kami tahu siapa yang di dalam. Tapi masyarakat takut bicara,” ungkapnya.
Situasi ini menegaskan bahwa penegakan hukum tidak bisa berhenti di tingkat PSK dan pengelola kafe semata. Aparatur desa yang terbukti menjadi pelanggan, terlebih menggunakan fasilitas negara atau uang rakyat, wajib diseret ke ranah hukum. Tak boleh ada tebang pilih. Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Jika aparat yang mestinya menjaga moral malah menjadi pelanggarnya, maka keberadaan Qanun Jinayat dan hukum nasional seperti UU Pornografi dan KUHP tinggal menjadi simbol tanpa wibawa. Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan terbuka. Tak cukup hanya dengan razia malam—perlu reformasi menyeluruh terhadap mentalitas dan integritas pejabat di level akar rumput.
Aceh Tenggara harus dibersihkan, bukan hanya dari PSK dan cafe remang-remang, tapi dari kebobrokan moral yang bersarang dalam struktur pemerintahan desa.
Laporan: Salihan Beruh