MEDAN |
Kasus yang menimpa Rahmadi, warga Tanjung Balai, terus menyeruak ke permukaan. Istrinya, Marlini Nasution, dengan suara bergetar menuntut Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Whisnu Hermawan untuk turun tangan langsung mengusut dugaan pencurian uang Rp11,2 juta serta penganiayaan terhadap suaminya.
Ia menegaskan, apa yang dialami keluarganya bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan kejahatan serius yang dilakukan di bawah seragam negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Marlini, dugaan bermula saat Rahmadi ditangkap awal Maret 2025 oleh anggota Subdit III Ditresnarkoba Polda Sumut.
Seminggu setelah penangkapan, saldo di rekening Rahmadi mendadak lenyap. Ia menduga kuat, penyidik berinisial Wtg, anak buah dari Kanit I Kompol DK, memaksa suaminya menyerahkan PIN M-Banking dengan alasan pemeriksaan digital.
“Ini bukan penyitaan resmi, ini pemaksaan disertai ancaman. Tidak ada surat penyitaan ponsel, tidak ada hasil forensik digital. Ini perampokan yang diselimuti prosedur hukum,” ujarnya geram, baru baru ini.
Marlini mengaku telah melapor secara resmi ke Polda Sumut dengan Nomor STTLP/B/1375/2025/POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 22 Agustus 2025.
Namun, laporan itu seakan menguap tanpa tindak lanjut. “Hampir dua bulan saya menunggu. Tak ada panggilan pemeriksaan lanjutan. Kalau aparat bisa mengambil uang seenaknya, di mana lagi rakyat mencari keadilan?” ungkapnya.
Tak berhenti di dugaan pencurian uang, Rahmadi juga disebut menjadi korban kekerasan fisik saat berada dalam tahanan. Rekaman CCTV yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang pria dalam kondisi babak belur, diduga Rahmadi, dipukul berulang kali.
Wajah lebam dan luka di punggungnya kini menjadi bukti hidup bahwa tindakan kekerasan aparat masih menghantui ruang penyidikan.
Kuasa hukum Rahmadi, Ronald Siahaan, S.H., menyebut peristiwa ini tidak bisa dilihat sebagai kasus tunggal.
Ia menduga ada rekayasa dalam proses penangkapan dan penyitaan barang bukti, termasuk potensi peralihan sabu dari tersangka lain ke Rahmadi.
“Ada kejanggalan sejak awal. Bukti yang diserahkan tidak sinkron dengan berita acara. Kami curiga, Rahmadi dijadikan kambing hitam untuk menutupi transaksi narkoba yang sebenarnya,” tegas Ronald.
Ronald menambahkan, praktik seperti ini merusak marwah penegakan hukum.
“Hukum bisa mati di tangan penegaknya sendiri jika kasus seperti ini dibiarkan. Bayangkan, korban disiksa, uangnya hilang, dan laporan istrinya tak digubris.Ini bukan lagi penyalahgunaan wewenang, ini pengkhianatan terhadap sumpah jabatan,” ucapnya keras.
Desakan publik kini menguat. Aktivis dan pengamat hukum meminta Kapolda Sumut membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus Rahmadi, agar tidak ada lagi ruang bagi penyimpangan.
“Kita menunggu langkah tegas Kapolda. Jangan biarkan institusi besar seperti Polri dikoyak oleh oknum rakus dan brutal,” ujar Marlini sembari menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kebenaran.(red)
photo : istimewa