Nasionaldetik.com,— Kisah pilu para petani tembakau di Lamongan adalah cermin kegagalan serius dalam tata kelola pertanian dan mitigasi bencana iklim di negeri ini. Bencana gagal panen total akibat cuaca ekstrem pada tahun 2025 bukan sekadar musibah alam biasa, melainkan tragedi yang diperparah oleh absennya jaring pengaman yang efektif dari pemerintah.
Musim Panen yang Menghancurkan Kesejahteraan Petani seperti Setu di Dusun Plapak kini harus menanggung kerugian hingga Rp 30 juta per hektar, dengan harapan penghasilan normal Rp 70 juta kini tinggal Rp 1 juta—jika pun ada. Kerugian finansial ini bukan sekadar angka di atas kertas, tapi berarti hilangnya kemampuan untuk “nempur beras” dan membayar arisan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini adalah ironi yang menyakitkan: mereka yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi daerah kini harus mengais rezeki ke hutan untuk bertahan hidup.
Pertanyaannya sederhana: Di mana peran negara ketika petani berada di titik nol?
Minimnya Mitigasi dan Solusi Jangka Panjang Para petani telah mengeluarkan seluruh modal dan tenaga, namun yang mereka dapatkan hanyalah cuaca yang tidak terduga—hujan lebat di musim kemarau, yang secara jelas merusak komoditas sensitif seperti tembakau.
Prediksi dan Peringatan Dini: Apakah sistem peringatan dini cuaca kita sudah memadai? Mengapa perencanaan musim tanam masih rentan terhadap fluktuasi iklim yang kini semakin sering terjadi? Petani tahu tembakau bergantung pada cuaca, tetapi mereka tidak punya kekuatan untuk melawannya tanpa dukungan teknologi dan informasi akurat.
Jaring Pengaman dan Asuransi Pertanian: Di tengah risiko kerugian puluhan juta, asuransi pertanian seharusnya menjadi mekanisme wajib yang disubsidi penuh dan dipermudah. Jika petani hancur lebur, ini menunjukkan bahwa program perlindungan yang ada, jika ada, tidak berjalan atau tidak memadai untuk skala bencana seperti ini.
Respons Paska-Bencana: Upaya seperti Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang dilakukan BPBD Jatim patut diapresiasi, namun fokus utamanya adalah pencegahan kebakaran hutan atau bencana hidrometeorologi lainnya. Lantas, bagaimana dengan intervensi langsung untuk pemulihan ekonomi petani yang sudah terlanjur bangkrut? Bantuan sosial dan modal kerja darurat harus disalurkan segera, bukan hanya janji.
Kondisi petani Lamongan adalah peringatan keras bagi pemerintah. Jika negara hanya hadir saat panen sukses untuk memungut hasil, tetapi menghilang saat petani butuh uluran tangan untuk sekadar membeli beras, maka kita telah gagal mengamalkan amanat kesejahteraan bagi rakyat.
Nasib petani tidak boleh hanya berakhir pada kalimat pasrah, “Wes opo jere sesok pak. Seng penting awak e sehat, piye carane iso mangan bendino.” Pemerintah wajib mengubah nasib ini, memastikan bahwa keberlanjutan hidup para pahlawan pangan dan komoditas kita tidak lagi bergantung pada keberuntungan semata.
Tim Redaksi Suwandi