Oleh: Kamaludin, SE (Ketua Umum DPP Gerakan KAWAN),melalui Pesan tertulisnya,Senin 29/09/25.
Nasionaldetik.com,— Birokrasi di Banten kembali terguncang. Belasan kursi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama yang seharusnya sudah terisi sejak awal September 2025 hingga kini dibiarkan kosong. Rencana pelantikan pejabat eselon II molor tanpa kepastian. Alasan utamanya, tarik ulur kepentingan antara Gubernur Andra Soni dan Wakil Gubernur Ahmad Dimyati Nata Kusuma.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Drama ini paling kentara terlihat pada pengisian posisi Kepala Biro Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat. Semula, kursi strategis itu disebut akan ditempati orang dekat Wakil Gubernur. Namun di tengah jalan, Andra Soni mengunci pilihannya sendiri. Ego dua pimpinan pun saling berbenturan, dan dampaknya dirasakan langsung oleh ASN yang kini terombang-ambing menunggu kepastian karier.
Fakta ini memperlihatkan lemahnya kepemimpinan Andra Soni. Seorang gubernur seharusnya menjadi pengendali, bukan justru terseret dalam tarik menarik politik yang berlarut-larut. Ketika pejabat struktural hanya diperlakukan sebagai komoditas kekuasaan, maka yang dikorbankan adalah birokrasi. Dan birokrasi yang macet berarti pelayanan publik yang lumpuh.
Banyak pegawai di Pemprov Banten mengaku sudah lama menanti rotasi dan promosi sebagai bagian dari jenjang karier mereka. Namun harapan itu dikubur oleh konflik kepentingan. ASN disuruh bekerja keras melayani publik, tetapi hak mereka untuk mendapatkan kepastian jabatan justru dijadikan bahan tawar-menawar elit. Ini bukan hanya pelecehan terhadap sistem merit, tapi juga pengkhianatan terhadap spirit reformasi birokrasi.
Kekosongan jabatan yang dibiarkan terlalu lama jelas merugikan rakyat. Jabatan penting hanya diisi pelaksana tugas yang kewenangannya terbatas. Program pembangunan tersendat, pengambilan keputusan strategis tertunda, dan koordinasi antarinstansi kacau. Pada akhirnya, masyarakat Bantenlah yang harus membayar mahal kegagalan ini.
Kepala BKD Banten, Nana Supiana, bahkan memilih bungkam. Upaya klarifikasi tak digubris. Sikap diam ini semakin menegaskan bahwa semua keputusan kini dikuasai tarik-menarik politik di level pucuk pimpinan. Aparatur teknis kehilangan peran, birokrasi kehilangan marwah, dan publik kehilangan pelayanan.
Pandangan akademisi pun sudah jelas. Ihsan Ahmad, pengamat kebijakan publik dari Untirta, menegaskan bahwa eselon II adalah jabatan strategis yang tak boleh dibiarkan kosong terlalu lama. Jika memang ada ketidakharmonisan di pucuk pimpinan, penyelesaiannya seharusnya ditempuh secara institusional, bukan melalui adu kuat menempatkan orang kepercayaan masing-masing. Sayangnya, pesan rasional itu diabaikan.
Pertanyaan besar kini mengemuka: sampai kapan Andra Soni akan membiarkan birokrasi tersandera ego politik? Publik menilai, kelambanan ini adalah cermin kepemimpinan yang tidak tegas, tidak visioner, dan tidak berpihak kepada rakyat. Padahal masyarakat Banten tidak butuh drama politik, mereka butuh pelayanan, kepastian, dan pembangunan yang nyata.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, duet gubernur–wakil gubernur tak hanya tampak retak, tapi juga gagal total dalam memimpin Banten. Sejarah bisa mencatat Andra Soni bukan sebagai pemimpin perubahan, melainkan gubernur yang membiarkan roda pemerintahan jalan di tempat karena tak mampu mengendalikan ego politik di rumah tangganya sendiri.
(Suprani IWO-IKabser)