Oleh: Erwin Siahaan, S.H.
Nasionaldetik.com,— Beberapa waktu lalu saya menerima telepon dari ahli waris keluarga Azwar Riduan di Sintang. Dengan suara berat, mereka menceritakan bahwa tanah warisan keluarga mereka ikut dilelang oleh kejaksaan. Dasarnya, kata mereka, adalah putusan pidana lama atas nama Efendy, seorang terpidana korupsi tahun 1998.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pak, bagaimana mungkin tanah kami ikut dilelang? Kami tidak ada hubungan dengan kasus Efendy, dan sertifikat asli masih ada di tangan kami,” ujar salah seorang ahli waris dengan nada penuh keputusasaan.
Sebagai praktisi hukum, saya paham bahwa putusan pidana yang sudah inkracht memang harus dilaksanakan. Namun eksekusi itu terbatas pada aset milik terpidana, bukan pihak ketiga. Pasal 273 KUHAP hanya memberi kewenangan kejaksaan untuk melelang barang bukti yang jelas-jelas milik terdakwa. Ketika tanah keluarga Azwar Riduan ikut dilelang, apalagi hanya bermodalkan fotokopi sertifikat, itu bukan sekadar cacat prosedur itu perampasan hak.
Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya, termasuk No. 264 K/Pdt/2016, menegaskan bahwa eksekusi terhadap aset pihak ketiga adalah batal demi hukum. Bahkan Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 85/PUU-XI/2013 menyebutkan bahwa hak atas tanah adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi negara. Dengan kata lain, meskipun putusan Efendy sudah final, tidak ada dasar untuk menjadikan tanah keluarga Azwar Riduan sebagai objek lelang.
Saya lalu menjelaskan kepada ahli waris lewat telepon bahwa ada upaya hukum yang bisa ditempuh. Mereka dapat mengajukan derden verzet (perlawanan pihak ketiga) ke pengadilan untuk membatalkan eksekusi. Mereka juga bisa menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), melapor ke PTUN jika ada cacat administrasi pertanahan, hingga membuat laporan pidana jika ada dugaan pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar: jika tanah rakyat bisa dilelang dengan alasan putusan pidana orang lain, lalu di mana perlindungan hukum itu berada? Negara tidak boleh bersembunyi di balik kata “final” untuk membenarkan perampasan hak rakyat kecil.
Saya menutup percakapan telepon itu dengan satu pesan:
> Putusan final memang mengikat, tetapi tidak pernah boleh dijadikan alasan untuk menginjak hak pihak ketiga.
Penulis Adalah Erwin Siahaan, S.H.
Praktisi Hukum Di Kalimantan Barat
Tim Redaksi Linda Susanti