Nasionaldetik.com,— 11 September 2025 Angka-angka mengejutkan menunjukkan gaji dan tunjangan anggota DPRD Jatim mencapai Rp84 juta per bulan, dengan tunjangan perumahan sebesar Rp35 juta. Fakta ini memicu pertanyaan serius tentang kepantasan dan akuntabilitas para wakil rakyat, terutama di provinsi dengan angka kemiskinan yang masih signifikan. Apakah besaran tunjangan yang sangat besar ini mencerminkan kinerja dan kondisi ekonomi masyarakat yang mereka wakili?
Informasi ini diungkap oleh seorang anggota DPRD Jatim yang identitasnya dirahasiakan, mengindikasikan adanya perpecahan atau bahkan ketidaknyamanan internal terkait besaran gaji tersebut. Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD Jatim, Deni Wicaksono, tampil sebagai pihak yang mengklaim adanya komitmen penghematan dengan mengalihkan anggaran kunjungan kerja luar negeri. Namun, apakah langkah ini cukup untuk menjustifikasi gaji yang terlampau besar, atau hanya sekadar upaya mitigasi opini publik?
Angka gaji Rp84 juta berlaku untuk tahun 2024, berdasarkan Pergub Nomor 11 Tahun 2022. Rilis ini dibuat pada September 2025. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kebijakan yang berpotensi membebani APBD sudah berjalan cukup lama, bahkan sebelum isu ini ramai di media.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Isu ini berpusat di Jawa Timur, yang dikenal sebagai salah satu provinsi terpadat di Indonesia. Hal ini semakin menonjolkan ironi antara kemewahan hidup para wakil rakyat dan realitas ekonomi sebagian besar masyarakatnya.
Kritisnya: Besarnya gaji dan tunjangan ini menunjukkan adanya disparitas ekstrem antara pendapatan pejabat publik dan masyarakat yang mereka layani. Seorang anggota dewan bahkan secara pribadi mengakui bahwa jumlah tersebut “berlebihan.” Hal ini menimbulkan keraguan publik tentang prioritas anggaran daerah. Alih-alih dialokasikan untuk sektor-sektor esensial yang langsung berdampak pada kesejahteraan warga, dana tersebut justru mengalir ke kantong para pejabat. Upaya pengalihan anggaran kunjungan kerja luar negeri, meskipun positif, bisa dilihat sebagai langkah reaktif daripada proaktif, dan tidak menjawab akar masalahnya, yaitu besaran gaji yang dinilai tidak pantas.
Rilis ini menuntut transparansi dan audit menyeluruh terhadap penggunaan dana APBD, tidak hanya pada satu pos anggaran, tetapi secara keseluruhan. Masyarakat berhak mengetahui apakah ada pemborosan lain yang tersembunyi. Langkah yang lebih fundamental diperlukan, seperti revisi ulang Pergub terkait tunjangan dan gaji, serta peningkatan partisipasi publik dalam proses perencanaan anggaran. Tanpa tindakan serius, komitmen yang diklaim oleh para legislator akan tetap dianggap sebagai sekadar manuver politik untuk meredam kritik, tanpa menyentuh persoalan inti.
Tim Redaksi