Labura, Nasionaldetik.co
Sebuah skandal dugaan korupsi mencuat di Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) terkait pengadaan fiktif yang merugikan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah. Yang mengejutkan, temuan serius dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ini hanya dianggap sebagai pelanggaran administrasi oleh Inspektorat setempat, memicu tanda tanya besar soal penegakan hukum dan transparansi.27 Agustus 2025.
Temuan ini berawal dari hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Labura tahun anggaran 2024. BPK mencatat adanya kejanggalan pada mekanisme pertanggungjawaban Ganti Uang (GU) di Dinas Kesehatan. GU adalah proses penggantian uang tunai yang telah dikeluarkan bendahara untuk berbagai kegiatan. Namun, dalam kasus ini, BPK menemukan adanya selisih mencurigakan antara jumlah uang yang diajukan untuk diganti dengan bukti pengeluaran yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan adanya praktik culas yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran. Dana GU yang seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan dinas, justru diketahui mengalir ke rekening pribadi bendahara.
Dalam laporannya, BPK merinci bahwa dana sebesar Rp500.399.736,00 ditransfer secara bertahap oleh bendahara ke rekening pribadinya sejak GU ke-1 hingga GU ke-14. Dana tersebut kemudian dipertanggungjawabkan seolah-olah telah digunakan untuk 10 jenis kegiatan fiktif.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya pemindahan dana GU lainnya dari kas bendahara ke rekening pribadi sebesar Rp17.245.167,00 yang sama sekali tidak memiliki bukti pertanggungjawaban. Dengan demikian, total kerugian yang diakibatkan oleh dugaan penyelewengan ini mencapai Rp517.784.903,00. Jumlah ini merupakan angka fantastis yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat Labura.
Menanggapi temuan BPK ini, pihak media melayangkan surat permintaan klarifikasi kepada Inspektorat Labura. Namun, jawaban yang diterima justru menuai kontroversi. Kepala Inspektorat Labura, Indra Paria, melalui surat resminya Nomor 700.1.2.4./1414/INSP-B/2025, menyatakan bahwa temuan dan rekomendasi BPK hanya bersifat administrasi.
Pernyataan ini seolah meremehkan fakta-fakta yang telah ditemukan BPK. Dalam hukum pidana, tindakan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Perbuatan memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan jabatan, seperti yang diduga dilakukan oleh bendahara, dapat dikenakan sanksi pidana berat.
Masyarakat dan pegiat anti-korupsi mendesak agar kasus ini tidak hanya berhenti di level administratif. Dugaan korupsi yang terstruktur dan masif seperti ini memerlukan intervensi dari penegak hukum, seperti Kejaksaan atau Kepolisian, untuk diselidiki secara mendalam dan tuntas.
Bambang Priliadianto S.Pd. selaku yang meminta klarifikasi terkait temuan BPK RI, akan lakukan laporan, menurutnya sikap yang mengambil yang bukan haknya itu adalah perbuatan culas yang melanggar hukum. dia menilai kegiatan ini tidak saja mengacu pada tindak pidana korupsi secara sepihak, melainkan adanya persekongkolan untuk memperkaya kelompok. dan menurutnya ini murni kejadian yang disengaja dan bukan bersifat Administratif.
Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen Pemerintah Kabupaten Labura dalam memberantas korupsi. Apabila dugaan penyelewengan ini hanya diselesaikan secara internal, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk dan membuka celah bagi praktik serupa di masa mendatang.
(Nur Kennan Tarigan)