Nasionaldetik.com,-– Di tengah seruan perlindungan lingkungan dan keberlanjutan, PT Bumi Persada Surya Pratama, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, justru mempertontonkan arogansi korporasi dengan membabat habis ribuan pohon mangrove di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana. 24 juli 2025
Aksi brutal ini, yang mengancam sendi kehidupan masyarakat pesisir dan ekosistem laut, dilakukan demi kepentingan sempit pembangunan pelabuhan jety dan penampungan ore nikel.
Fakta memilukan ini terkuak dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPRD Banggai pada Kamis (24/7/2025). Pertemuan yang digelar di Kantor DPRD Banggai, JL KH Samanhudi Luwuk, mempertemukan instansi terkait, perwakilan perusahaan, dan masyarakat terdampak yang semakin tercekik oleh dampak lingkungan.
Angka Kerusakan yang Menganga: 7,65 Hektare Mangrove Lenyap
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banggai, Judy Amisudin, mengungkapkan data yang mengejutkan: dari total 15 hektare lahan yang telah digusur, 7,65 hektare di antaranya adalah lahan konservasi mangrove. “Sisanya kelapa dan tumbuhan lainnya,” ungkap Judy, seolah mencoba mereduksi skala kerusakan, padahal angka tersebut sudah cukup untuk menjadi lonceng kematian bagi ekosistem pesisir Siuna.
Ambisi korporasi yang membabi buta ini jelas mengabaikan fungsi vital mangrove sebagai benteng alami dari abrasi pantai, habitat krusial bagi berbagai jenis biota laut, penyerap karbon, dan penyaring polutan. Warga setempat, Sofyan Taha, dengan getir menyampaikan dampak langsung yang mereka alami.
“Sekarang kalau mancing di Teluk Siuna, ikan hasil pancing sudah bersamaan dengan sedimen. Warga juga sudah kesusahan mencari udang dan kepiting yang dulu melimpah,” beber Sofyan, menggambarkan bagaimana penghancuran mangrove telah secara langsung membunuh ruang hidup dan mata pencarian masyarakat.
“Ramah Investasi, Tapi Harus Ramah Lingkungan”: Sebuah Ironi di Tengah Kehancuran
Wakil Ketua Komisi II DPRD Banggai, Siti Aria Nurhaeningsih, mengingatkan perusahaan tentang urgensi perlindungan mangrove. “Kabupaten Banggai sangat ramah investasi, tapi harus ramah lingkungan,” tegas Siti Aria.
Namun, pernyataan ini terdengar seperti ironi pahit di tengah realitas kehancuran yang nyata di Desa Siuna. Pertanyaan besar menggantung: sejauh mana komitmen ‘ramah lingkungan’ ini benar-benar diimplementasikan oleh pihak berwenang dan pelaku investasi?
Alasan Klise dan Kompensasi Semu
Perwakilan PT Bumi Persada Surya Pratama mengakui pengrusakan hutan mangrove dalam RDP tersebut. Dalih yang dikemukakan cukup klise: lahan seluas 17 hektare yang digunakan untuk pembangunan jety dan penampungan ore nikel berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) dan telah dibebaskan.
“Lahannya sudah dibebaskan,” kata perwakilan perusahaan, seolah status APL bisa menjadi pembenaran untuk menghancurkan ekosistem vital.
Lebih lanjut, perusahaan mengklaim telah menanam sekitar 10 ribu bibit mangrove sebagai “ganti rugi” di pesisir pantai Desa Tikupon, Kecamatan Bualemo, berdasarkan rekomendasi DLH Banggai.
Namun, klaim ini patut dipertanyakan efektivitasnya. “Kalau di Siuna belum ada lahan untuk ditanami mangrove,” ujarnya, menunjukkan betapa absennya pertanggungjawaban langsung di lokasi kerusakan.
Penanaman bibit di lokasi lain tanpa pemulihan di lokasi terdampak hanya merupakan kompensasi semu yang gagal mengatasi kerugian ekologis dan sosial di Desa Siuna.
Insiden ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan dan hak hidup masyarakat.
Masyarakat Desa Siuna kini menuntut keadilan dan pemulihan, bukan sekadar janji-janji kosong atau kompensasi yang tak sebanding dengan kehancuran yang telah terjadi
Tim Redaksi Prima