Kutacane – Proyek penanganan longsoran di perbatasan Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tenggara yang digarap dengan anggaran jumbo senilai Rp10,7 miliar menuai sorotan. Pasalnya, proyek pembangunan tembok penahan tersebut dikerjakan tanpa menggunakan batching plant—peralatan standar dalam proses produksi beton berkualitas.
Pekerjaan dilakukan di Desa Natam Baru, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara, oleh PT Segon Karya Alcantara berdasarkan kontrak bernomor HK.02.01/CTR-Bb1.PJM.III/016. Namun hingga pertengahan Juli ini, proses pelaksanaan proyek justru dilakukan dengan metode pencampuran beton secara manual di mobil molen.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 3.5 dari Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh, Jaya Yuliadi, membenarkan bahwa pekerjaan tidak menggunakan batching plant. Alasannya, fasilitas tersebut sedang tidak beroperasi di sekitar lokasi. “Demi menjaga progres pelaksanaan, kami tetap lanjut menggunakan metode manual. Komposisinya mengikuti formula hasil pengujian,” kata Jaya, Senin, 14 Juli 2025.
Pernyataan tersebut tak sepenuhnya menjawab kekhawatiran banyak pihak. Praktik ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip pekerjaan konstruksi yang mensyaratkan standar mutu tinggi, terutama dalam proyek infrastruktur vital seperti penanganan longsor di daerah rawan bencana.
Menurut sumber di lapangan, pencampuran manual dikhawatirkan menghasilkan beton dengan mutu tidak konsisten, terutama jika tidak melalui batching plant yang berfungsi memastikan takaran material presisi. Apalagi, proyek ini berada tepat di bantaran Sungai Alas yang memiliki arus deras dan tekanan air tinggi.
“Kalau campuran tidak sesuai Job Mix Design (JMD), dikhawatirkan struktur tembok penahan tidak akan bertahan lama. Ini soal keselamatan publik,” ujar seorang ahli teknik sipil dari wilayah Aceh Tenggara yang enggan disebutkan namanya.
Bukan hanya dari aspek teknis, metode pelaksanaan ini juga dinilai berpotensi melanggar ketentuan hukum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi secara tegas mewajibkan penyedia jasa melaksanakan pekerjaan sesuai standar keamanan, mutu, dan profesionalitas. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7394:2008 mewajibkan penggunaan batching plant untuk menjamin mutu beton pada pekerjaan konstruksi berskala besar.
Jaya Yuliadi menyebut beton yang dihasilkan telah diuji oleh Dinas PUPR Aceh, namun hingga kini belum ada publikasi resmi mengenai hasil uji tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah proses uji itu benar-benar dilakukan secara independen dan transparan.
Sementara itu, dokumen kontrak menunjukkan proyek ini harus rampung dalam tahun anggaran berjalan. Jika metode pelaksanaan terus dibiarkan di luar standar yang disyaratkan, maka hasil pekerjaan sangat mungkin tidak lolos audit teknis maupun pemeriksaan akhir kelayakan struktur.
“Jangan sampai publik dibohongi. Kalau beton hasil campuran manual ini retak atau runtuh dalam hitungan bulan, siapa yang tanggung jawab?” tegas Samsir Daud, aktivis pemantau anggaran publik.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda evaluasi atau audit dari pihak BPJN Aceh terkait pelaksanaan proyek tersebut. Jika pelanggaran ini dibiarkan, maka konsekuensinya tidak hanya soal anggaran negara yang terbuang, tetapi juga soal nyawa manusia yang bergantung pada kekuatan infrastruktur di daerah rawan bencana.
Laporan: Salihan Beruh