BANTEN – Nasionaldetik.com -Proses seleksi terbuka Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten kembali menjadi panggung kontroversi yang mempertontonkan kemunduran etika birokrasi dan pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Alih-alih memperkuat sistem merit, yang terjadi justru pengaburan prinsip-prinsip dasar manajemen talenta. Rakyat Banten berhak kecewa, karena yang dipertontonkan bukanlah profesionalisme, melainkan sandiwara kekuasaan.
Gubernur Andra Soni, yang selama ini membanggakan diri sebagai pemimpin baru dengan semangat bersih, justru tampak kehilangan kendali dalam momentum penting ini. Tiga nama yang disodorkan Panitia Seleksi (Pansel) untuk jabatan Sekda, termasuk Deden Apriandhi, dipilih tanpa kejelasan indikator penilaian yang transparan. Di mana skor akhir? Di mana integritas nilai? Mengapa publik dibiarkan menerka-nerka hasilnya?
Lebih menyakitkan lagi, masyarakat mendengar bahwa salah satu calon, yakni Deden Apriandhi—yang bahkan belum bergelar doktor (S3)—mendapat nilai luar biasa tinggi dalam asesmen. Padahal publik memahami secara terbuka kapasitas akademis dan birokratis yang bersangkutan belumlah menonjol. Di sinilah akal sehat publik mulai diganggu: benarkah seleksi ini adil dan objektif?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritik keras layak ditujukan kepada Suwaib Amiruddin, anggota Panitia Seleksi yang juga seorang akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Ketika seorang akademisi memberi nilai tinggi yang terkesan tak wajar kepada sosok yang secara objektif tak terlalu menonjol, publik bertanya: di mana independensi kampus? Di mana objektivitas ilmiah yang menjadi identitas intelektual?
Apakah nilai tinggi kepada Deden diberikan karena pertimbangan akademis yang sahih, atau justru karena kedekatan pribadi, tekanan politik, atau skenario yang sudah dirancang sejak awal? Jika seorang profesor sudah turut serta dalam legitimasi proses yang cacat dan gelap, maka ini adalah pengkhianatan terhadap dunia akademik itu sendiri. Jangan biarkan nama Untirta diperalat untuk membenarkan politik birokrasi kotor.
Dalam narasi yang lebih luas, seleksi Sekda ini sesungguhnya merupakan ujian moral bagi Gubernur Banten. Jika beliau benar-benar berkomitmen pada Asta Cita Prabowo tentang pemerintahan yang bersih, mengapa tidak ada upaya terbuka untuk mempublikasikan nilai asesmen? Mengapa beliau membiarkan Pansel bermain dalam ruang gelap yang penuh tanda tanya?
Gubernur tidak bisa bersembunyi di balik pernyataan “saya tidak ikut campur.” Pembiaran adalah bentuk keterlibatan. Ketika integritas proses dilanggar, maka diamnya pemimpin adalah bentuk persetujuan. Dan bila benar Deden Apriandhi dipaksakan menjadi Sekda dengan legitimasi yang penuh kontroversi, maka rakyat Banten sedang disuguhi konfirmasi bahwa masa lalu kelam politik daerah belum benar-benar berlalu.
Tak bisa dilupakan bahwa Deden dan Andra Soni memiliki sejarah kebersamaan saat Deden menjadi Sekwan dan Andra sebagai Ketua DPRD Provinsi Banten. Relasi masa lalu ini menimbulkan kecurigaan publik yang sah: apakah ada utang budi yang harus dibayar? Apakah ini semata-mata balas jasa politik yang dibungkus seleksi terbuka?
Lebih jauh, proses ini justru memperkuat hasil survei beberapa waktu lalu yang menempatkan Gubernur Andra Soni di peringkat terbawah dalam hal kepercayaan publik. Jika seleksi pejabat setingkat Sekda saja diliputi aroma rekayasa, maka bagaimana publik bisa percaya bahwa pemerintahan Banten akan berjalan bersih, adil, dan profesional?
Seleksi Sekda bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah ujian kepemimpinan, komitmen moral, dan keseriusan reformasi birokrasi. Bila proses ini tetap dilanjutkan tanpa pembukaan data dan tanpa evaluasi ulang nilai asesmen, maka kita sedang menyaksikan pengulangan kisah lama: jabatan strategis diserahkan bukan pada yang terbaik, tapi pada yang terdekat.
Sebagai aktivis Banten, saya menuntut agar nilai asesmen diumumkan secara terbuka. Kami ingin tahu indikator penilaian, bobot makalah, nilai wawancara, dan peta kompetensi seluruh kandidat. Jangan jadikan prinsip meritokrasi hanya sebagai slogan kosong di atas kertas. Jangan lagi remehkan kecerdasan publik.
Dan kepada para akademisi seperti Suwaib Amiruddin: jika Anda tidak mampu menjaga independensi dalam proses seleksi seperti ini, maka mundurlah dari dunia akademik. Kampus bukan tempat menjilat kekuasaan. Kampus adalah benteng kebenaran, bukan tempat memperhalus kebijakan busuk.
Banten tidak akan maju dengan seleksi yang pura-pura objektif, tapi penuh sandiwara. Kami ingin perubahan nyata. Kami ingin integritas. Dan bila Gubernur Andra Soni tidak berani bersih-bersih di tubuh birokrasi, maka ia bukan pemimpin perubahan, tapi hanya manajer dari masa lalu yang gagal.
(Suprani IWO-I Kabser)