Nasionaldetik.com , SEMARANG, – Pidato Gubernur Jawa Tengah baru-baru ini telah menyulut api perdebatan sengit di seantero provinsi. Bagaimana tidak, alih-alih menyerukan transparansi dan akuntabilitas di tingkat desa, sang gubernur justru melontarkan pernyataan kontroversial yang terkesan melindungi para Kepala Desa (Kades) dari sorotan hukum. Rabu 07-05-25
Dengan entengnya, Gubernur menyatakan bahwa “tidak boleh lagi ada Kades yang sedikit-sedikit terlapor.” Lebih lanjut, janji perlindungan dari “oknum-oknum yang mengganggu” semakin memperdalam keraguan publik. Pertanyaan besar pun mencuat: perlindungan macam apa yang sebenarnya dimaksud? Apakah ini sinyalemen untuk mengamankan Kades dari jerat hukum, bahkan jika terindikasi melakukan praktik korupsi atau penyimpangan lainnya?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan ini bukan hanya mengundang tanya, tetapi juga kecaman pedas dari berbagai pihak. Kalangan jurnalis dan aktivis lantang menyuarakan kekhawatiran bahwa retorika sang gubernur berpotensi membungkam kebebasan pers dan melemahkan fungsi pengawasan masyarakat. Apakah ini upaya untuk menciptakan zona nyaman bagi para penguasa desa, di mana kritik dan kontrol dianggap sebagai “gangguan”?
Selain itu, pernyataan Gubernur juga dianggap berpotensi membatasi hak jurnalistik serta fungsi pengawasan dan kontrol sosial yang selama ini dijalankan oleh organisasi masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kalangan jurnalis dan aktivis menilai bahwa pernyataan tersebut dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di tingkat desa.
Berbagai reaksi muncul dari berbagai elemen masyarakat. Kecaman dan pertanyaan mendominasi diskusi publik, dengan banyak pihak yang menyayangkan pernyataan Gubernur. Mereka menilai bahwa seharusnya Gubernur mendukung transparansi dan akuntabilitas di tingkat desa, serta memberikan ruang bagi pengawasan yang konstruktif dari berbagai pihak.
Sungguh ironis, di tengah semangat pemberantasan korupsi yang digaungkan di tingkat nasional, seorang kepala daerah justru meluncurkan wacana yang berpotensi mengkebiri upaya penegakan hukum di level akar rumput. Masyarakat Jawa Tengah patut bertanya-tanya, ke mana arah komitmen pemberantasan korupsi di provinsi ini jika para pemimpinnya justru terkesan defensif terhadap potensi pelanggaran di tingkat desa.
Alih-alih melindungi Kades dari potensi jerat hukum, seharusnya Gubernur Jawa Tengah mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan desa yang bersih dan akuntabel. Ruang bagi pengawasan yang sehat dari media, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat justru harus diperkuat, bukan malah dibatasi dengan retorika perlindungan yang ambigu.
Hingga saat ini, tabir maksud di balik pernyataan kontroversial Gubernur masih belum tersingkap. Masyarakat menanti klarifikasi yang bukan sekadar basa-basi, melainkan penjelasan yang mampu meredakan kegelisahan dan mengembalikan kepercayaan terhadap komitmen pemerintah provinsi dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bahkan hingga ke pelosok desa. Jika tidak, pidato ini akan terus menjadi bara api yang membakar kepercayaan publik terhadap integritas kepemimpinan di Jawa Tengah.
Penulis : Tim Redaksi