Nasionaldetik.com , JAMBI — Tangis pilu kembali menyelimuti bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Sebuah peristiwa memilukan yang menggambarkan potret buram penegakan hukum terjadi di Kabupaten Bungo. Seorang warga sipil bernama Depi Saputra, mengalami intimidasi luar biasa dari dua oknum anggota Polres Muaro Bungo hingga menyebabkan ibunya terkena stroke di tempat. Tragedi ini menorehkan luka mendalam, tak hanya bagi keluarga Depi, tetapi juga bagi masyarakat yang masih percaya akan tegaknya keadilan di negeri ini.
Dua nama oknum polisi kini jadi sorotan publik:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Budi – saat kejadian menjabat sebagai Kanit SPKT Polres Muaro Bungo
Sinaga – anggota Sabhara Polres Muaro Bungo
Keduanya dilaporkan secara resmi oleh Depi ke Propam Polda Jambi atas dugaan pelanggaran berat: intimidasi, pengancaman, penyalahgunaan kewenangan, serta pemaksaan tanda tangan dalam situasi mencekam dan tanpa dasar hukum jelas.
Teror di Rumah Sendiri: “Masuk Kau! Penipuan Ini!”
Peristiwa mencekam ini terjadi pada 20 November 2024 pukul 16.23 WIB. Rumah Depi di Kelurahan Cadika, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru berubah menjadi ladang teror ketika dua mobil, salah satunya mobil patroli polisi, berhenti dan mengeluarkan sekelompok orang—termasuk dua oknum polisi dan sejumlah sipil yang tengah bermasalah hukum: Mashuri (mantan kepala sekolah yang kini ditahan atas kasus korupsi), Elvi Gamal, dan Dafril.
Tanpa basa-basi, Budi dan Sinaga langsung masuk ke dalam rumah dengan penuh arogansi. Sinaga membacakan surat yang telah disiapkan oleh Redi Arpika, seorang sipil, lalu memaksa Depi menandatanganinya—surat pengakuan utang sebesar Rp100 juta.
> “Saya menolak, karena saya tahu ini jebakan. Tapi Budi terus mengancam, berkali-kali meneriaki saya dengan kalimat ‘Masuk kau! Penipuan ini!’” tutur Depi, mengenang trauma itu dengan suara bergetar.
Saksi Keheningan: Ibu Depi Tersungkur, Stroke di Depan Mata
Tragedi sesungguhnya terjadi saat sang ibu yang sudah sepuh dan sakit-sakitan menyaksikan anaknya diperlakukan seperti kriminal. Tak kuat menyaksikan intimidasi aparat berseragam, ibunda Depi ambruk dan mengalami stroke di tempat. Istri dan anak-anak Depi hanya bisa menangis ketakutan.
> “Rumah kami berubah jadi seperti arena penggrebekan. Ibu saya langsung tersungkur, dan sampai sekarang masih belum pulih total,” kata Depi lirih dalam surat pengaduannya.
Dana Bantuan atau Persekusi Terselubung?
Depi menjelaskan bahwa semua bermula dari permintaan tolong Mashuri dan bendahara sekolah, Redi Arpika, untuk membantu penyelesaian kasus mereka. Depi diminta memediasi dan membantu proses hukum, dengan dana Rp240 juta yang diberikan secara sukarela. Namun setelah para pemberi dana itu dijerat hukum, tuduhan malah diarahkan ke Depi. Ia disebut menipu dan diminta mengembalikan dana tersebut.
Ironisnya, permintaan pengembalian uang tidak dilakukan melalui jalur hukum yang wajar, melainkan melalui intimidasi fisik dan psikologis langsung di kediamannya.
Mediasi atau Teror Lanjutan?
Mediasi yang diharapkan menjadi solusi, justru menjadi ajang tekanan psikologis. Dalam mediasi tanggal 17 Maret 2025, kuasa hukum saat itu, Megawati, justru diduga ikut menekan Depi untuk menandatangani surat mediasi dengan ancaman langsung bahwa ia bisa ditahan kapan saja.
Tak tahan, Depi mencabut kuasa hukum dari Megawati, dan kini menggandeng pengacara baru, Joko Tirtono, SH, dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Provinsi Jambi.
Bukti Rekaman: Fakta yang Tak Bisa Ditampik
Depi menyatakan bahwa seluruh kejadian memilukan tersebut terekam dalam CCTV dan video pribadi. Dalam video itu terlihat jelas bagaimana dua oknum polisi memasuki rumah tanpa surat tugas atau perintah resmi, memaksa tanda tangan, dan melontarkan ancaman terbuka.
> “Mereka datang seperti debt collector, bukan seperti polisi. Ini bukan penegakan hukum—ini penyiksaan batin,” kata Depi.
Laporan Sudah Masuk Propam – Institusi Dipertaruhkan
Dengan surat kuasa bernomor 088/SKK/LCKI.1/TG/8/IV/2025, Depi menyerahkan seluruh bukti dan kronologi kejadian kepada Propam Polda Jambi, berharap ada tindakan nyata.
> “Saya yakin, masih banyak polisi baik di negeri ini. Tapi dua oknum ini harus dihentikan sebelum lebih banyak korban. Jangan biarkan nama institusi Polri rusak karena perilaku arogan dan tidak berperikemanusiaan,” ujar Depi dalam konferensi pers.
Publik Bertanya: Masihkah Hukum Berdiri Tegak?
Kini, sorotan tertuju pada Kapolda Jambi dan Kabid Propam Polda Jambi. Apakah akan ada tindakan tegas dan transparan, atau justru kasus ini akan dibungkam seperti luka lama yang tak pernah sembuh?
Rakyat menanti keadilan. Hati nurani publik menjerit. Dan tangis seorang ibu yang stroke di depan anaknya akibat arogansi berseragam, kini jadi simbol bahwa perjuangan melawan ketidakadilan belum berakhir.
Penulis : Tim Redaksi