Nasionaldetik.com , Cimahi – Mochamad Yogaswara, peyelenggarakan perhelatan Focus Group Discussion (FGD) Patarema Rasa V dengan tema “Voice of Culture (VoC)” dengan menghadirkan moderator Dadan Syarifudin, pemerhati hukum dan kebudayaan adat Sunda. Di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Sabtu, 15 Maret 2025.
Pemilihan lokasi di Kampung Adat Cireundeu bukan tanpa alasan. Publik mengenal Kampung adat ini sebagai simbol, praktik, wujud kedaulatan, serta implementasi makna kemandirian yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. “Kemandirian dan kedaulatan adat itu tergambar dalam kehidupan Cireundeu,” ungkap Mochamad Yogaswara.
Pada Perhelatan Patarema Rasa V ini menjadi momen refleksi mendalam tentang perjalanan panjang budaya Sunda dalam mempertahankan kemandirian di tengah arus globalisasi.
Patarema Rasa V mewujud sebagai ruang dialektika bagi para pemikir, budayawan, dan masyarakat untuk menggali makna kebangsaan dalam perspektif budaya Sunda. Lebih dari sekadar perhelatan, Patarema Rasa V hadir sebagai upaya membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kemandirian budaya dalam menghadapi tantangan zaman.
Hadir Pada Perhelatan Tersebut Abah Widi, Tetua Adat Kampung Adat Cireundeu, Nonoman Kampung Adat Cireundeu, Kang Jajat, Dian Rahadian, Bangsawan dari Perkumpulan Aji Dipa Bandung , Asep Suparman, pemerhati Budaya Sunda dari Cimahi dan Iwa Gunawan dari Kampung Adat Cigugur, Kuningan,
Moderator FGD Dadan Syarifudin dalam pengantar narasi diskusi mengangkat ironi kemandirian dan kepribadian Sunda dengan ungkapan “Bangkong dikongkorong Kujang…,” yang menggambarkan perilaku “tambuh laku” atau sikap yang mengancam kemandirian nasional. Sikap abai terhadap nilai budaya dan etika melahirkan fenomena sosial seperti tagar #kaburajadulu dan “Indonesia Gelap,” berikut adanya kepanikan massal memicu lahirnya hegemoni baru yang menempatkan mayoritas seolah sebagai penentu segala urusan kebangsaan.
Tetua Adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi, Abah Widi menegaskan bahwa tradisi seperti Tingkeban hanya bisa berlangsung jika budaya tetap terjaga. Baginya, budaya bukan sekadar ritual, melainkan gabungan “budi dan daya” yang harus terus dijaga dan dilestarikan, meski dihadapkan pada arus modernisasi.
Korupsi berjamaah adalah ciri manusia yang “teu areling” (tidak sadar),” ujar Abah Widi. Di Cireundeu, gotong royong menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tanpa harus bergantung pada bantuan luar yang sering kali mempersulit dengan birokrasi yang manipulatif.
Nonoman Kampung Adat Cireundeu, Kang Jajat, mengungkapkan bahwa kemandirian lahir dari kesadaran diri dan menjadi bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Dalam konteks modern, kemandirian ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik korupsi yang merusak sendi-sendi bangsa.
Kata Abah Widi, membangun kemandirian itu dengan akhlak dan moral. Kampung Adat Cireundeu memegang suatu pemahaman dan keyakinan tentang keberadaan alam. Setidaknya ada tiga istilah sebagai mahluk yaitu 1. mahluk “cicing” (diam), 2. mahluk “nyaring” (dari kata saring), dan 3. mahluk “eling”.
“Mahluk “cicing” atau diam di alam seperti pohon memberi bantuan kepada kehidupan mahluk lain. Mahluk “nyaring” artinya mampu melakukan upaya selektif terhadap sesuatu terjadi dalam realitas hidup. Mampu memilah hal terbaik bagi diri, keluarga dan lingkungan. Mahluk “eling” adalah bersikap sadar atas segala keadaan dan situasi hidup dialami oleh diri.” Kata Abah Widi.
Dian Rahadian, Bangsawan dari Perkumpulan Aji Dipa Bandung menyoroti perlunya upaya rekayasa sosial sebagai langkah strategis menghadapi arus global dengan segera bentuk Undang-undang adat untuk memperkuat posisi masyarakat Sunda dalam ranah ekonomi dan politik.
” Bagaimana bangsa Sunda survive ke depan. Rekayasa kembali tatanan yang melenceng dengan sosial enginering. Bangsa Barat masuk ke ranah budaya nasional dengan cara rekayasa. Kita harus imbangi juga dengan proses rekayasa itu. Lakukan rekayasa dan perkuat sikap self developmen ke dalam adat,” Ujar Dian Rahadian.
Asep Suparman, pemerhati Budaya Sunda dari Cimahi, menyoroti hilangnya kemandirian bangsa akibat ketergantungan yang tinggi pada pihak lain. Prinsip “Ciri Sabumi Cara Sadesa” menjadi pengingat bahwa kemandirian harus dibangun dari kekayaan lokal. Asep juga menyoroti bagaimana budaya asing masuk dan mengubah karakter bangsa, termasuk dalam pola konsumsi yang memengaruhi pola pikir masyarakat.
Ia menekankan bahwa kebangkitan budaya lokal harus dimulai dengan mengangkat potensi ekonomi daerah. Produk lokal yang unik dan autentik bisa menjadi pilar ekonomi, sekaligus menjaga identitas budaya dari arus homogenisasi global.
Iwa Gunawan Marhaenis dari Kampung Adat Cigugur, Kuningan, mengingatkan bahwa semangat kemandirian Kampung Adat Cireundeu sudah tertanam sejak abad ke-16. Ia menyinggung ajaran MARHAEN yang pernah diusung Soekarno sebagai bentuk kemandirian ekonomi. Sayangnya, pengaruh teknologi asing justru memperlemah semangat tersebut, mengikis nilai marhaenisme yang dulu begitu dijunjung.
Patarema Rasa V memiliki lima Tujuan Acara, mulai dari 1. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap budaya Sunda sebagai bagian dari identitas bangsa, 2. Membangun nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial di kalangan anak muda, 3. Menjadikan acara ini sebagai wadah diskusi terkait tantangan budaya dan kebangsaan dalam konteks modern, 4. Menghormati dan mengenang jasa almarhum Dagun Suyansyah dalam melestarikan budaya Sunda, dan 5. Menyikapi fenomena sosial yang berkembang di Nusantara serta membangun pemahaman mengenai urgensi pelestarian budaya dan identitas kebangsaan.
Penulis : Teguh Ari & Alex Media GPM