JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Republik Indonesia akan menggelar sidang untuk menangani kasus dugaan pelanggaran kode etik dan hukum dalam tahapan seleksi calon Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kabupaten Tapanuli Tengah, yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Sidang yang dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 14 Juli 2023 mendatang, akan melibatkan 6 pengacara yang mewakili 10 pengadu.
Para pengadu yang merupakan calon anggota PPS memberikan kuasa kepada 6 orang pengacara yakni Syahruzal, Mulyadi, Suriadi, M. Hendrawan, Hary Azhar Ananda, dan Wina Agustin Tanjung.
“Sesuai dengan Surat Panggilan dari DKPP-RI kepada kami selaku pelapor, Nomor: 884/PS.DKPP/SET-04/VII/2023, kami diminta hadir dalam sidang DKPP tersebut atas laporan kami terkait dugaan kasus pelanggaran kode etik dan hukum perekrutan Calon PPS Tapteng oleh KPU Tapanuli Tengah. Sidang itu akan dilaksanakan Jumat, 14 Juli 2023 di Kantor Bawaslu Tapteng,” kata Hendrawan kepada wartawan, Minggu (9/7/2023).
Mereka melaporkan Anggota KPU Tapteng ke DKPP atas dugaan kecurangan, diskriminasi, tidak profesional, dan tidak independen dalam seleksi penerimaan anggota PPS Kabupaten Tapanuli Tengah untuk Pemilihan Umum tahun 2024.
“Bulan Maret lalu secara resmi kami laporkan KPU Tapteng ke DKPP, setelah kami mendapat kuasa dari puluhan calon PPS yang sudah dinyatakan lulus administrasi dan seleksi ujian namun namanya tidak tercantum dalam pelantikan,” ungkapnya.
Hendrawan mengatakan pada sidang DKPP nanti, pihaknya akan menghadirkan saksi-saksi dan juga bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran kode etik dan hukum pada seleksi calon PPS oleh KPU Tapteng.
Para teradu dalam kasus ini adalah Azwar Sitompul (Ketua KPU Tapteng), Timbul Panggabean, Yudi Arisandi Nasution, Jonas Bernad Pasaribu, dan Feri Yosha Nasution.
Dalam laporan pengaduannya, para pengadu menduga pelanggaran-pelanggaran ini telah direncanakan sejak awal pendaftaran calon anggota PPS, tes tertulis, tahapan wawancara, hingga penetapan dan pengangkatan anggota PPS.
Mereka menyebut proses perekrutan melalui tahapan seleksi tertulis anggota PPS dilakukan secara tidak transparan dan tidak profesional. Pasalnya, nilai hasil seleksi tertulis tidak pernah diumumkan secara terbuka, sehingga peserta seleksi tidak mengetahui nilai yang diperoleh oleh peserta dan nilai minimum yang diperlukan untuk lulus seleksi tertulis.
“Tindakan KPU Tapteng terkesan menutup-nutupi dan tidak transparan serta tidak profesional dalam proses seleksi tertulis ini,” kata mereka.
Bahkan, di Desa Sigambo-gambo, para teradu meluluskan dan mengangkat anggota PPS yang tidak mengikuti tahapan seleksi wawancara sama sekali. Padahal, syarat menjadi anggota PPS adalah mengikuti seluruh tahapan seleksi, termasuk tahapan wawancara dan lulus seleksi.
Selanjutnya, seleksi calon anggota PPS dalam tahapan wawancara dilakukan di hampir seluruh desa di Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan melanggar etik dan hukum.
Para teradu dalam tahapan wawancara melakukan pelanggaran dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak independen, tidak profesional, dan cenderung diskriminatif.
Menurut mereka, praktik yang terjadi hampir di seluruh desa Kabupaten Tapanuli Tengah ini, menunjukkan bahwa tindakan para teradu dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif.
“Pada tahapan wawancara, para teradu memberikan pertanyaan kepada peserta seleksi calon anggota PPS di hampir seluruh desa di Kabupaten Tapanuli Tengah, seperti apakah mereka mengenal kepala desa. Jika peserta menjawab mengenal kepala desa, mereka langsung dinyatakan gugur,” bebernya.
Kata mereka, alasan para teradu menggugurkan peserta seleksi calon anggota PPS karena mengenal kepala desa sangat tidak jelas.
“Apakah peserta yang mengenal kepala desa dianggap tidak independen? Seharusnya wajar jika peserta seleksi mengenal kepala desa sebagai aparatur pemerintah dalam lingkup terkecil di suatu daerah,” tukasnya.
Mereka menegaskan bawah tindakan para teradu yang menggugurkan peserta seleksi calon anggota PPS di hampir seluruh desa di Kabupaten Tapanuli Tengah, karena alasan mengenal kepala desa adalah perbuatan yang sangat diskriminatif, tidak profesional, tidak independen, dan dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif.
Selain itu, peserta seleksi yang telah dinyatakan lulus seluruh tahapan seleksi calon anggota PPS hampir di seluruh desa tidak ditetapkan dan tidak diangkat menjadi anggota PPS untuk Pemilihan Umum tahun 2024.
Hal ini sangat merugikan para pengadu dan menunjukkan pelanggaran etik yang jelas dilakukan oleh para teradu serta ketidakprofessionalan dalam perekrutan anggota PPS di Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Tidak hanya itu, dengan tidak ditetapkannya dan tidak diangkatnya peserta seleksi calon anggota PPS yang telah lulus seluruh tahapan seleksi hampir di seluruh desa, dugaan praktik gratifikasi dalam proses perekrutan anggota PPS Kabupaten Tapanuli Tengah mencuat. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat anti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkap para pengadu.
Menurut mereka, berdasarkan pelanggaran yang serius dan signifikan yang dilakukan oleh para teradu secara sistematis, terstruktur, dan massif, DKPP memiliki kewenangan untuk menyatakan para teradu telah melanggar kode etik dan hukum.
DKPP juga berwenang memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap atau sementara, atau teguran tertulis kepada para teradu serta membatalkan surat keputusan KPU Kabupaten Tapanuli Tengah nomor 8 tahun 2023 tentang penetapan dan pengangkatan PPS untuk Pemilu 2024 (TIM)