Penulis:
Jefrizal Shadli Karo Karo, S.H Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU)
Direksi sebuah perseroan, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memiliki kewajiban untuk menjalankan pengelolaan perusahaan sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) dan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam menjalankan tugasnya, direksi harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil sejalan dengan kepentingan perusahaan dan dilakukan secara hati-hati, sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG).
Terdapat contoh kasus terkait penerapan prinsip Business Judgment Rule di Indonesia yang dapat kita ambil sebagai contoh kasus yaitu mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ir. Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, didakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang terkait dengan akuisisi 10% participating interest (PI) nilai penawaran US $30 juta di Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia.
Dakwaan ini muncul akibat dugaan bahwa akuisisi tersebut dilakukan tanpa melalui kajian dan due diligence yang memadai dan tidak ada persetujuan dari bagian Legal dan Dewan Komisaris saat perjanjian pembelian (Sale Purchase Agreement) ditandatangani.
Dalam proses akuisisi, Karen Agustiawan bersama beberapa eksekutif Pertamina lainnya, termasuk Direktur Keuangan PT Pertamina dan Manager Merger & Akuisisi, dianggap telah melanggar prosedur internal, sehingga merugikan negara sebesar Rp568 miliar, menurut laporan dari Kantor Akuntan Publik.
Penuntut Umum menilai bahwa tindakan Terdakwa telah memperkaya perusahaan asing, Roc Oil Company Limited, yang memiliki Blok BMG. Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa Karen terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Namun, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi membatalkan putusan tersebut, dengan alasan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti sebagai tindak pidana korupsi.
Business Judgment Rule “BJR” merupakan prinsip hukum yang dirancang untuk memberikan perlindungan bagi direksi dalam pengambilan keputusan bisnis yang berisiko, selama tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) serta Anggaran Dasar Perseroan.
Berdasarkan Pasal 97 ayat (5) UUPT, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan jika mereka dapat membuktikan bahwa tindakan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip BJR, yaitu tindakan yang diambil secara rasional, berdasarkan informasi yang memadai, tanpa adanya konflik kepentingan, dan untuk kepentingan terbaik perseroan.
Dalam kasus Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia merupakan bagian dari kebijakan bisnis yang diambil oleh direksi.
Meskipun akuisisi tersebut akhirnya menyebabkan kerugian, Mahkamah Agung berpendapat bahwa tindakan Karen tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena keputusan tersebut diambil dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai direksi, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya Mahkamah Agung berdasarkan amar pertimbangannya menilai tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut merupakan bagian dari ruang lingkup Business Judgment Rule yang memberikan perlindungan kepada direksi dalam menghadapi risiko bisnis yang tidak terduga sehingga keputusan bisnis yang diambil oleh Terdakwa tidak dapat digolongkan sebagai tindak pidana, tetapi murni sebagai bagian dari keputusan korporasi yang berada dalam ruang lingkup Business Judgment Rule (BJR).
Karen Agustiawan akhirnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dan Mahkamah Agung memulihkan hak, kedudukan, harkat, serta martabat Terdakwa.
Prinsip Fiduciary Duty adalah salah satu landasan utama yang harus dipatuhi oleh direksi, yang mewajibkan direksi untuk bertindak setia demi kepentingan terbaik perseroan.
Dalam konteks BUMN, direksi juga terikat oleh tanggung jawab moral dan hukum untuk menghindari tindakan yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam kasus ini, Karen dianggap telah menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip fiduciary duty, karena tidak ada bukti bahwa ia bertindak untuk kepentingan pribadinya atau bertentangan dengan kepentingan perseroan.
Selain itu, tindakan yang diambil tidak dapat dianggap ultra vires atau di luar kewenangan yang diberikan oleh perseroan, karena keputusan tersebut berada dalam ruang lingkup pengelolaan bisnis yang sah Dimana telah mendapatkan izin dan persetujuan Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero) melalui Memorandum Dewan Komisaris tanggal 30 April 2019 tetapi sehari setelah penandatanganan Sale Purchase Agreement tanggal 27 Mei 2009 di Sidney Dewan Komisaris menunjukkan sikap yang mendua.
Direksi BUMN diwajibkan untuk mematuhi kewajiban hukum yang diatur dalam undang-undang dan peraturan perusahaan.
Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa perbuatan yang merugikan keuangan negara dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Namun, dalam hal ini, perlu dipahami bahwa kekayaan BUMN dipisahkan dari kekayaan negara. Oleh karena itu, kerugian yang dialami BUMN sebagai entitas korporasi tidak otomatis dianggap sebagai kerugian negara.
Karen telah memenuhi standard of duty sebagai direksi, termasuk prinsip kehati-hatian yang diatur dalam Good Corporate Governance (GCG) serta Pasal 5 ayat (3) UU BUMN, sehingga tidak ada unsur pelanggaran hukum dalam tindakannya.
Penerapan Business Judgment Rule bertujuan untuk melindungi direksi dari kriminalisasi dan risiko setiap keputusan bisnis yang diambil sepanjang tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan dalam batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan Anggaran Dasar dalam rangka menjalankan fungsi pengelolaan Perusahaan.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa direksi tidak takut mengambil risiko bisnis yang diperlukan untuk kemajuan Perusahaan, sehingga setiap keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian selalu diinterpretasikan sebagai kerugian negara, maka hal ini akan membatasi ruang gerak direksi, merusak inovasi, dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Dalam kasus Karen Agustiawan, Mahkamah Agung menilai bahwa keputusan bisnis yang diambil, meskipun menimbulkan kerugian, tetap berada dalam koridor BJR karena diambil dengan informasi yang cukup, tanpa konflik kepentingan, dan dengan itikad baik.
Dengan demikian, BJR memberikan kekebalan hukum bagi direksi dari tuntutan pidana selama keputusan yang diambil dilakukan sesuai dengan fiduciary duty, statutory duty, dan standard of duty yang berlaku.
Apabila prinsip-prinsip ini terpenuhi, maka direksi berhak atas perlindungan hukum dari pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami perusahaan, seperti yang diputuskan dalam kasus Karen Agustiawan.
Sebagai rekomendasi, perlu ada pemahaman yang mendalam dari para direksi terkait fiduciary duty dan statutory duty agar keputusan yang diambil tidak hanya sesuai kepentingan perusahaan tetapi juga sesuai dengan ketentuan hukum.
Peningkatan pelatihan bagi direksi BUMN mengenai pengelolaan risiko bisnis dan penerapan Good Corporate Governance (GCG) sangat penting untuk mencegah kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, kerjasama antara penegak hukum dan ahli korporasi harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan dengan mempertimbangkan nuansa hukum bisnis yang kompleks.
Terakhir, harmonisasi regulasi antara hukum korporasi dan anti-korupsi diperlukan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan mencegah terjadinya kriminalisasi yang tidak adil terhadap keputusan bisnis.(***)